Aku Jatuh Cinta Pada Tetanggaku
Fancy Ballo
Aku minta maaf bila rasa ini salah. Maaf kalau cintaku jatuh padamu dan juga atas kebingungan dan keraguanmu menjawabi cintaku. Kau tak perlu merasa bersalah dan berdosa oleh karena milikmu adalah cinta yang terlarang.
Pada awal tahun ini tepatnya di Satu Januari. Dalam balutan dewi malam dengan rintikan air matanya yang menari-nari di atas atap rumah aku terlebur dalam rasa yang dilematis.
Mahasiswa -Tinggal di Kota Maumere
Aku minta maaf bila rasa ini salah. Maaf kalau cintaku jatuh padamu dan juga atas kebingungan dan keraguanmu menjawabi cintaku. Kau tak perlu merasa bersalah dan berdosa oleh karena milikmu adalah cinta yang terlarang.
Aku mungkin salah telah mengambil keputusan ini setelah sekian lama kubertahan untuk tidak mencintai atau pun dicintai seorang wanita.
Aku juga bahagia untuk tidak mencintai siapapun secara pribadi khusus. Mencintai tanpa harus jatuh. Cinta yang universal. Cinta yang tidak tergolong dalam kriteria atau syarat-syarat yang harus dipenuhi dan untuk dimiliki. Cinta idealis. Cinta yang juga dibenci dan menjadi sangat jahat karena meninggalkan sampah kesendirian yang terbuang jauh sebagai korban idealisme. Jomblo ditinggal mati.
Hari ini aku putuskan untuk mencintai Nona Inang. Gadis manis tetangga kelasku pada sebuah Sekolah Tinggi di Kota Maumere.
Kata tetangga juga kupakai untuk melukiskan perasaanku kepada beberapa gadis sahabat dekat Nona Inang. Aku menyukai mereka semua dan kami pasti akan selalu bersama, namun Nona Inang telah menjadi gadis istimewa dalam tatapanku. Ia akan selalu ada disetiap fajar dan petang dan dalam setiap gema langkah ini.
Aku mencintai tetanggaku oleh karena kami takkan pernah akan jauh. Kami berlayar dalam satu atap yang mengajarkan kami untuk mencintai pengetahuan dan kesempatan untuk mengetahui cinta yang kami miliki.
Aku tahu cinta yang kumiliki ini penuh risiko. Nona Inang berada pada dunianya yang bebas untuk memiliki cinta yang ia cintai secara penuh dalam segala waktu dan tempat. Sedangkan aku hidup dalam cinta yang terlarang. Atmosfer cinta yang kontradiktif. Aku tidak bisa hidup dalam dua pilihan sekaligus. Antara hidup dengan cinta yang tidak memiliki dan sekaligus hasrat memiliki.
Cinta yang tidak memiliki berarti saya harus menghayati cinta seperti yang dimiliki Kristus kepada semua orang tanpa mengambil salah satu sebagai milik atau diperlakukan khusus. Cinta yang bebas tanpa keterikatan. Sedangkan cinta yang membuat tidak bebas dengan keterikatan khusus merupakan cinta yan memiliki. Apa yang saya miliki adalah juga milik dia yang kumiliki.
Setelah sekian lama aku berada dalam cinta yang sepihak aku pun memutuskan untuk menyatakan rasa yang kumiliki itu pada Nona Inang. Kali ini aku agak gugup karena aku sendiri tidak begitu yakin dengan keputusanku itu.
Disatu sudut aku tidak ingin keluar dari jalur cinta yang dipegang teguh kaumku. Menampik hasrat cinta untuk memiliki seorang gadis. Kaumku menghayati hidup seliber (biarawan). Pranata yang menentukan bahwa orang dalam kedudukan tertentu tidak boleh kawin, tidak menikah, dan hidup membujang. Meskipun orientasi cintaku pada Nona Inang tidak berpikir sampai sejauh itu. Kawin atau pun menikah. Hanya sekadar ingin berbagi rasa satu sama lain.
Namun apa artinya sebuah jalinan hubungan tanpa orientasi pada masa depan. Perencanaan dan komitmen. Pria dan wanita ibarat magnet dari kutub yang berbeda bila disatukan akan ada ikatan dan ketertarikan satu sama lain. Hubungan keduanya sangat dipengaruhi faktor kedekatan. Semakin sering “dekat” maka orientasi untuk bersama pada masa depan pasti akan ada pula.
Sebab siapakah wanita dan pria yang ingin dipermainkan dalam sebuah hubungan yang dibangun atas wadas mulia yaitu cinta. Karena itu baik aku maupun Nona Inang tentu tidak ingin hal ini terjadi. Bagian inilah yang menjadi pertimabanganku pada sudut lainnya.
Aku takut salah satu dari kami akan terluka meskipun tidak sampai berpikir untuk cinta yang dipermainkan atau mempermainkan, yang dalam sebuah lagu pop dibahasakan sebagai "Sandiwara Cinta". Kisah Cinta yang dimainkan oleh salah satu tokoh yang hanya memanfaatkan pasangannya dan kemudian pada akhirnya dicampakkan.
Pada awal tahun ini tepatnya di Satu Januari. Dalam balutan dewi malam dengan rintikan air matanya yang menari-nari di atas atap rumah aku terlebur dalam rasa yang dilematis.
Menjadi seperti Romeo yang berani memanjat pagar batas permusuhan keluarganya dengan keluarga Juliet yang ia cintai atau mencundangi cinta yang ada dalam rasa takut.
"Nona Inang, maafkan aku."
Ini bukan sebuah perjuangan seorang Pahlawan Cinta seperti Romeo bila kau tahu kisahnya dalam buku yang kau baca atau dalam lempengan CD yang ditayangkan pada layar monitor. Ini hanya sebuah usaha sederhana untuk membebaskan diri dari rasa yang memborgol. Rasa yang tak mau lagi bersahabat dengan akal yang kritis.
"Maaf kalau Nona Inang harus ikut menjadi subjek untuk menemani rasa ini."
Malam itu hatiku menginginkan Nona Inang. Dari Kota lahir Pancasila aku memutuskan untuk mengungkapkan cintaku pada Nona Inang di Kota Destinasi Rohani Sikka- Maumere. Persatuan monumental kenegaraan dan religius dalam kesepakatan pada malam hari tanpa bertatap muka, agaknya kurang etis dan mencoreng moralitas transparansi. Tapi dalam hal cinta siapa peduli itu.
Cinta selalu jujur dan mau mengerti. Cinta menegnal kuasa. Cinta menegnal perbedaan dan jarak. Namun kuasa, perbedaan, dan jarak tidak bisa menjadi penghalang dalam mencinta.
Aku dan Nona Inang tidak sedang melakukan kompromistis kekuasaan dan kepentingan seperti yang biasa dilakukan para politisi menjelang Pilkada atau Pileg. Memakai topeng kawin-mawin momental kenegaraan dengan religius untuk menarik simpatisan dan mencari dukungan agar langgeng menempati kursi egoisme dan menumpuk kekayaan diri dan keluarga.
Aku dan Nona Inang hanyalah orang biasa yang sedang jatuh cinta.
Pembicaraan malam itu cukup panjang hingga suntuk. Aku yang dalam situasi kontadiksi untuk memenangkan perasaan atau menuruti pertimbangan ratio dan Nona Inang yang kebingungan menanti apa yang hendak aku bicarakan padanya.
Nona Inang mungkin sudah mengetahui maksud hatiku namun tentu Ia ingin lebih jelas mendengarnya dari bibirku sendiri.
“Nona Inang aku rindu dirimu [suka].”
Aku diam sesaat. Merasakan aliran dara yang tiba-tiba memanas disekujur tubuh.
Aku merasa bersalah telah mengatakan itu pada Nona Inang. Perasaan dan akal sehatku bertempur memikirkan kata apa yang akan menyusul setelah ini. Akankah Nona Inang bisa memaafkan aku. Nona Inang sebagai penunggu yang sabar, pengertian, dan selalu bersikap manis baik dalam percakapan telepon maupun saat bertatap muka.
Nama Nona Inang juga bukan merupakan namanya yang sebenarnya. Nona Inang merupakan sebuatan untuk perampuan yang disayangi dalam Bahasa Maumere yang kupelajari daripadanya. Dengan sebutan itu pulalah aku kenakan padanya sebagai Nona Inang.
Tiba-tiba suara Nona Inang dengan manisnya bertanya bingung menghentikan kekacauan dalam pikiran hatiku.
“Rindu, maksudnya?”
Siapa yang tidak memahami perampuan. Mereka selalu ingin to the point langsung pada maksud pembicaraan. Bila belum mencapai titik terangnya seribu pertanyaan akan menjejal bertubi-tubi.
“Aku rindu ingin menjadikanmu wanita istimewa [pacar] teman jalanku.”
Aku secepatnya memutar kata hidup dengan jalan.
Bagiku teman hidup terlalu kaku dan bisa membuatku takut dengan kata-kataku sendiri. Aku memilih kata jalan karena salah satu dari kami bisa saja merasa capek, berhenti, dan atau berbelok pada simpangan lain yang kami mau dan menurut kami lebih baik.
Hidup tidak bisa berbelok. Hidup hanya punya jalan lurus menuju akhirat yaitu kematian.
Perasaan bingung dan tak begitu percaya tentu lahir dalam hati Nona Inang. Mungkinkah seseorang yang telah memilih jalan seliber jatuh cinta dan memiliki wanita istimewa untuk berbagi kisah hidup. Bisakah dia berjalan maju dengan posisi kangkang. Kaki yang satu berada pada kotak seliber dan kaki yang lain berada pada cinta istimewa dengan seorang wanita pada lingkaran awam.
Nona Inang menjawab “Ya” dengan penuh teka-teki.
Takut berdosa dan ketidakpercayaan pada apa yang telah ia dengar dan sendiri alami.
Nona Inang mulai membayang dan menimangkan banyak persoalan yang terjadi di daerahnya yang ia kenal dengan eks-frater, eks-suster, eks-bruder yang dililiti persoalan hubungan terlarang sebelumnya hingga menempatkan mereka pada stare sebagai “eks_” yang berati keluar dari...
Nona Inang juga tahu bahwa tidak semua yang terlibat dalam “eks_” yang disebutkannya terlilit persoalan akibat menjalin hubungan dengan seorang wanita atau pria. Mereka tentu memiliki alasan dan yang berbeda-beda sesuai dengan refleksi dan penghayatan panggilan hidup pribadi mereka. Dan Nona Inang tidak mau menempatkan dirinya dalam pandangan yang sempit itu, negative thinking terhadap pemahaman tentang orang-orang yang dikenalnya sebagai “eks...”.
Dan kini Nona Inang sendiri berada pada gerbang hubungan terlarang itu. Maukah ia masuk atau memutuskan untuk tetap berada di luar dalam lingkarannya sendiri. Terbeban perasaan dilematis tentu dan pasti ada dalam dada lembutnya. Nona Inang meminta waktu untuk mengendapkan perasaannya.
Hatiku yang sudah bebas dari belenggu perasaan cinta kepada Nona Inang kini mau tidak mau harus mencicipi rasa baru yang lahir dari keputusanku.
Aku merasa bersalah karena telah melibatkan Nona Inang dalam persoalan cintaku yang terlarang.
Terlarang di sini bukan ditekankan pada peraturan yang mati seperti hukum dan sejenisnya yang kita kenal dalan tatanan hidup bangsa kita. Terlarang lebih kepada keputusan otentik dan mutlak yang menyentuh langsung dengan alur dan penghayatan hidup pribadi yang membuat keputusan. Mau memutuskan untuk hidup selibat sebagai biarawan, biarawati, atau imam dengan demikian berarti tidak kawin atau menikah (termasuk menjalin hubungan khusus dengan seorang wanita atau pria). Dan bila memutuskan untuk kawin atau menikah berarti harus tanggalkan status kebiaraan dan hidup sebagai awam. Itulah yang kusebutkan dengan cinta terlarang. Aku harus memilih dan memutuskan agar cintaku tidak dikatakan terlarang. Mencintai Allah atau “mamon”. Memilih seliber atau kawin.
Nona Inang tentu tidak mau menempatkan dirinya sebagai “mamon” yang menghalangi jalan pilihanku untuk seliber.
Dua hari kemudian Nona Inang memberi jawaban. Meski aku sendiri menantikan jawaban itu namun tidak sedikit pun kugantungkan harapan pada janji itu. Sebab niatku hanya mengungkapkan rasa cinta yang membebani perasaanku. Aku telah diam-diam mencintai Nona Inang dan rasa itu tinggal dalam dadaku hingga saat ini.
Permintaan untuk menjadikan Nona Inang pacarku, “teman jalanku” kugunakan untuk membungkus kata i love you pada Nona Inang.
Sistemku mengajariku bahwa cinta itu tumbuh setelah punya jalinan relasi dan saling mengenal satu sama lain. Aku dan Nona Inang. Gila, bila tenpa relasi tiba-tiba mengungkapkan kata cinta. Cinta dialami dan dirasakan dalam kebersamaan, perjumpaan, dan berbagi. Orang buta sekali pun pasti akan mencintai dengan benar. Mencintai orang yang sehari-hari ada bersamanya dan memberi perhatian padanya. Cinta yang kugolongkan di sini ialah cinta khusus yang menciptakan lingkaran keterikatan yang diam-diam kuimingkan. Aku dan dia. Aku dan Nona Inang.
Nona Inang memutuskan untuk tidak menjalani hubungan [pacar] denganku. Seperti yang kurasakan, Nona Inang merasa berdosa dan takut ada kekecewaan diantara kami. Nona Inang memutuskan untuk tidak menerima ajakanku untuk menjadikannya teman jalanku. Sebab jalanku berbeda dari jalannya. Jalannya menghendaki kebebasan menjalin hubungan khusus, pacar, menikah, dan kawin sedangkan jalanku berjalan terbalik dari jalannya. Aku seorang seliber.
Aku berterimakasih kepada Nona Inang tetanggaku. Meski tak harus kumilikimu dalam satu atap rumah yang sama namun pasti akan selalu kucintai dalam doa sebagai tetangga.
Ledalero, 06 Januari 2019.
Ledalero, 06 Januari 2019.
Komentar