Agama Musuh ter-Besar Pancasila: Benarkah?
Gambar: Duta.co
Pernyataan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof. Dr. Yudian Wahyudi, bahwa “Agama musuh terbesar Pancasila” menuai pro dan kontra dari banyak pihak terutama kecaman yang datang dari para pemuka Agama dan kaum intelektualis. Pernyataan secara keras datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam rapatnya meminta Prof. Yudian untuk mundur dari Kepala BPIP. Dan termasuk dari pihak Gereja Yang diwakili oleh Prof. Franz-Magnis Suseno, mengecam pernyataan ini. Prof. Franz menilai pernyataan Kepala BPIP itu “sangat sombrono”, lanjut dia “yang mengancam Pancasila bukan Agama, tetapi Psoido Agama, ekstrimisme Agama, dan radikalisme Agama”. (ILC/TV One/18 Februari 2020)
Terlepas dari klarifikasi Prof. Yudian yang menyusul beberapa saat kemudian setelah ada begitu banyak tanggapan yang muncul, saya menempatkan opini saya pada ruang pro (setuju dengan pernyataan itu). Pernyataan bahwa Agama musuh terbesar Pancasila adalah benar adanya dalam kajian saya dengan menempatkan Pancasila dalam segi praksis.
Sejauh mana nilai-nilai Pancasila diimplementasikan dalam kehidupan bersama bagsa ini? Dan sudah sejauh mana Pancasila menjawabi segala persoalan kehidupan demokrasi kita? Agama musuh terbesar Pancasila: Bisa saja.
Bila kita mengkaji pernyataan Prof. Yudian dengan hanya melihat rumusan utuh Pancasila sendiri dari kalimat per kalimat tentu kita tidak akan menemukan soalnya di dalam. Dengan demikian pernyataan Yudian bisa kita katakan ngawur. Tetapi bila kita telisik lebih jauh dari segi praksis Pancasila, di sana kita akan menemukan banyak soal yang harus ditanggung Pancasila.
Ø Membaca realitas
Saya setuju dengan pernyataan Prof. Franz-Magnis Suseno, “yang mengancam Pancasila bukan Agama, tetapi Psoido Agama, ekstrimisme Agama, dan radikalisme Agama”. Namun, pada lain sisi saya menemukan suatu penghayatan yang berbeda terhadap Agama oleh bangsa Indonesia.
Indonesia bukan negara 'Agama' (monopoli ideologi agama tertentu), tetapi tendensi untuk menjadikan Indonesia negara 'Agama' ada dalam realitas kehidupan berbangsa di mana ditandai dengan semakin memudarnya demokrasi kita yang nampak dalam beberapa kasus intoleransi hidup beragama yang terus lahir dalam setiap catatan tahunan. Setiap Agama berlomba-lomba untuk menunjukan superioritasnya di ruang publik. Mayoritas menindas yang minoritas dan menjadi semakin dipojokan.
Saya mengangkat kembali soal intoleransi yang menjadi masalah urgen untuk di atasi akhir-akhir ini, sambil mengkaji satu demi satu poin dalam Pancasila.
1. Ketuhanan yang Maha Esa; Agama-agama mendapat ruang bebas dalam kehidupannya di negeri ini. Dengan kata lain negara menghendaki agar setiap warganya boleh menganuti salah satu Agama apa pun yang dia imani. Di sini kita tidak mendapatkan ruang bagi seorang ateis untuk hidup di negeri ini.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab; Pancasila menjanjikan kehidupan yang adil bagi keberadaban setiap warganya. Dan di sini seringkali eksistensi Pancasila dipertanyakan. Ironisnya keadilan yang dijanjikan negara bagi seluruh bangsanya itu cendrung terkotak-kotak. Juga relasi sosial antarumat beragama pun seringkali menuai konflik yang berkepanjangan oleh karena hilangnya sikap ketegasan negara untuk mengatasinya. Sebut saja soal pelarangan pembangunan ruamah ibadat di beberapa tempat di tanah air ini, yang pelik dan panjang urusannya. Dimanakah kemanusiaan yang adil itu, apa lagi beradab?
3. Persatuan Indonesia
Negara memiliki andil kuat untuk merangkum keberagaman hidup warganya. Pluralitas Agama seringkali menjadi kendala bagi negara untuk mewujudkan persatuan ini. Politik identitas yang dilatarbelakangi Agama sangat kuat dalam beberapa kontestasi politik di negeri ini. Tentu kita masih ingat masalah Ahok, hingga dilencengkan dari panggung kontestan pemilihan Gubernur DKI. Inikah persatuan, yang hanya didominasi oleh kelompok Agama tertentu yang negara janjikan?
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; Kebijaksanaan yang kita nantikan dari sebuah permusyawaratan untuk menyelesaikan konflik-konflik yang mengatasnamakan Agama seringkali berat sebelah dan tidak memuaskan. Tetap saja yang minoritas selalu akan terhimpit oleh kuasa mayoritas.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; Bagaimana keadilan sosial dapat terwujud bila politik identitas dan perhatian pembangunan masih didominasi oleh pengaruh Agama mana yang ada dalam strata tertinggi dalam tata kepemerintahan? Inilah yang menjadi soal berantai negeri ini. Mari kita amati ada berapa rumah ibadat Agama-Agama yang dibangun berdampingan dengan fasilitas publik lainnya? Di mana kita jumpai di Bandara misalnya, ada suatu petunjuk ke arah; Kapela (tempat ibadat Agama Katolik) atau Pura (tempat ibadat Agama Hindu)? Mustahli bila ada, atau ada barangkali bisa dihitung dengan jari.
Inilah rentetan polemik dan diskursus yang tidak bisa kita sangkal dari kepincangan hidup berpancasila negara kita yang banyak disandung oleh karena fakta pluralitas Agama. Agama musuh terbesar Pancasila adalah suatu pengakuan yang lebih jujur dari pada menyangkalnya dengan argumen-argumen mendasar yang sebenarnya hanya merupakan idea sebuah kehidupan berpancasila yang jauh dari segi praksisnya. Pernyataan yang datang dari Kepala BPIP memang mungkin bisa disalahkan karena ia menunjukan sikap pesimistis dalam kapasitasnya yang menjalankan tugas terhormat untuk merawat Pancasila. Namun, dari suara seorang akademis, yang menilai implementasi Pancasila di negeri ini saya membenarkan pernyataan itu. Agama adalah lawan Pancasila dengan kata lain, Agama menjadi hambatan dalam menerjemahkan Pancasila kepada kehidupan praksis bernegara.
Komentar