Membaca Kembali Har Yansen dan Menimbang Gugatan Edy Soge: Awasan Terhadap Lahirnya Sikap Fatalisme Praktis dan Bahaya Teologi Sebagai Antropologi
Bencana, wabah, dan persoalan-persoalan yang menimpa alam dan manusia di satu sisi membuat hidup manusia menderita, tetapi di sisi lain ia membangkitkan kesadaran manusia untuk berpikir. Buah dari pikiran manusia atas peristiwa yang menimpa hidupnya itu muncul dalam beragam perspektif yang ditopang oleh berbagai latar belakang ilmu-ilmu yang diciptakan manusia itu sendiri.
Apa pun upaya itu tidak lain adalah kreasi manusia untuk menemukan cercah harapan demi mendapatkan kembali kekuatan dan solusi bagi kehidupan yang terus berlanjut. Dalam pikiran reflektif sebagai tanggapan atas situasi sosial yang terjadi kadang siapa saja bisa keliru dalam membangun ide atau gagasan dan kemudian membuka ruang dialektis bagi kritik serta saran untuk suatu bangunan peradaban kemanusiaan itu sendiri.
Tulisan ini adalah gagasan dialektis kritik dan tanggapan atas
pemikiran Har Yansen dalam bangunan ide teodise
tentang "Tuhan dan Bencana" dalam refleksi teologisnya yang saya tanggapi sebagai
suatu awasan terhadap sikap fatalisme praktis. Dan juga sebuah kritik terhadap
pemikiran Edy Soge yang menanggapi tulisan Har, yang saya anggap jatuh dalam bahaya teologi liberal, teologi sebagai
antroopologi.
Apresiasi Terhadap Pemikiran Har
Har Yansen dalam laman Media Indonesia (22/1/2021), sebagai seorang yang bergelut dalam bidang ilmu teologi mencoba membangun dialektika reflektif antara bencana, teologi kemaslahatan, dan kemanusiaan. Bangunan reflektif Har ini selain secara sepihak merupakan asumsi diri pribadinya, tetapi juga merupakan persoalan universal yang masif bagi refleksi iman umat manusia dalam hidupnya.
Kita kenal beberapa teolog seperti, Karl Barth, Emil Brunner, Rudolf Bultmann, Eduard Thurneysen, dan Frederich Gogarte, dan masih banyak teolog lainnya yang muncul dengan refleksi teologis mereka sebagai tanggapan atas situasi sosial konkret yang terjadi di tengah dunia. Sebagai sorang Mahasiswa Teologi Kontekstual, Har merasa bertanggung jawab untuk memberikan sumbangan teologi, kepedulian teologisnya atas krisis bencana yang bertubi-tubi menimpa umat manusia, bangsa religius; bangsa Indonesia.
Refleksi teologis Har, bermula dari empatinya yang mendalam atas duka kemanusiaan bangsa ini sebagai mana yang dilangsir dalam laman Media Indonesia (11/1) dengan judul lengkapnya, “Tragedi Sriwijaya Duka Kemanusiaan”. Har kemudian melebur duka ini dalam sejumlah deretan bencana yang terjadi selama awal tahun 2021 termasuk bencana Covid 19 yang kian meningkat (Media Indonesia, 22/1).
Apresiasi sepatutnya diberikan kepada Har atas bangunan teologi kemaslahatan sebagai tanggapan atas bencana dan guncangan duka kemanusiaan untuk membuka pintu kesadaran umat manusia, melawat yang sakit, dan memberi makan kepada yang sedang lapar, ditekannya sebagai bagian dari ekspresi iman.
Har berjuang untuk mengembalikan eksistensi manusia sebagai satu keluarga, satu ciptaan. Har menulis, “Kesadaran akan situasi ini mesti mendorong kita untuk menyapa sesama dan alam dalam semangat persahabatan”. Suatu pemikiran berlian bisa dikatakan bahwa yang menjadi kekurangan pada alam dapat ditolong manusia dan sebaliknya kekurangan pada manusia disediakan oleh alam. Suatu jalinan persahabatan yang mutualistis.
Gugatan Edy Soge Menolong Teologi
Catatan Edy Soge dalam pokok refleksi teologi Har bisa dikatakan menolong teologi terutama pada kritikannya mengenai bangunan ide teodise tentang Tuhan dan Bencana (NTT Progresif, 24/1). Kekeliruan Har karena dia mengabaikan relasi antara hukum alam dan tanggung jawab manusia di tengah bencana yang terjadi dan lebih memposisikan kedaulatan dan providensia Allah atas manusia sebagai yang utama. Konsekuensi teologis dari pandangan ini manusia dipandang sebagai makhluk yang rapuh, lemah, tidak berdaya, dan pasrah sepenuhnya kepada otoritas Allah.
Pemahaman teologis seperti ini akan melahirkan konsep fatalisme praktis. Ide tentang fatalisme ini bermula dalam karya Aristoteles, “De Interprete” bisa dikatakan sebagai sikap penerimaan dan kepasrahan manusia kepada kedaulatan Allah yang mutlak. Gagasan ini ditolak Edy Soge karena kontradiksi dengan kebebasan manusia. Edy menulis, “Jika harapan terakhir adalah kepasrahan kepada Tuhan, maka manusia beriman secara pesimistik, dan tidak realistis. Manusia sangat beriman kepada Tuhan dengan kepasrahan total, tetapi ragu kepada kemampuannya sendiri. Harapan iman hanya memperpanjang kesengsaraan manusia. Di hadapan Tuhan serta agama dan teologi, manusia menjadi tidak bebas. Beragama berarti juga tidak bebas merayakan hidup paling otentik”.
Diskursus mengenai bencana yang dialami manusia memang tidak serta merta menjadi persoalan teologis yang kemudian disematkan dengan Kemahakuasaan Allah. Edukasi teologis semacam itu, justru akan memperkerut iman dan menjerat teologi pada pencarian solutif yang nihil, sebab otoritas Allah menjadi jawaban terakhir dan selesai. Teologi memaksa manusia untuk menghibur diri dengan penerimaan akan kerapuhan dan ketidakberdayaannya sembari menanti datangnya mukjizat.
Teologi seyogyanya memberikan tanggapan yang lebih proporsional untuk membangunkan manusia dari kejatuhan dengan harapan yang praktis dari dimensi eksistensi manusia yang bebas. C. S. Lewis (1898-1963) seorang penulis Inggris dan teolog awam diterangkan Esther Gunawan, dalam tulisan "Meneropong Makna Penderitaan Manusia Menurut Konsep Teodise C.S. Lewis" (Jurnal Veritas, vol. 16, no. 1, 2017). “Allah bertindak dalam dunia ini dibatasi oleh hukum-hukum alam yang Allah sendiri telah tetapkan sehingga Allah tidak mungkin membatalkan kehendak bebas yang Ia sudah berikan kepada manusia.”
Dalam perspektif ini menurut Esther, Kemahakuasaan Allah ialah kuasa untuk melakukan segala sesuatu sejauh tidak bertentangan dengan konsistensi Allah itu sendiri. Kehadiran manusia dengan kebebasannya dan hukum alam yang berlaku adalah kuasa yang diberikan Allah dan Ia konsisten untuk tidak menariknya kembali. Analoginya, bahwa Allah berkuasa menghentikan batu besar yang menggelinding dari atas bukit dan hendak menimpa sebuah rumah, tetapi jika itu Ia lakukan maka akan bertentangan dengan hukum alam mengenai gravitasi.
Maka, dalam posisi ini kritik Edy Soge adalah benar bahwa manusia dalam situasi bencana semacam ini harus membangun daya kritis dengan memberdayakan proses demokratis untuk mencari solusi bersama. Bencana dan wabah yang menimpa manusia harus dipahami sebagai konsekuensi logis dari kebebasan manusia dan hukum alam. Dalam hal ini penyalahgunaan terhadap kebebasan atau penggunaan kebebasan yang tidak efektif oleh manusia telah melahirkan bencana atau situasi chaos bagi manusia itu sendiri.
Jadi benar apa yang ditegaskan Edy, bahwa manunsia harus mencari akar permasalahan dan pemecahannya melalui sains yang diciptakan dari kebebasan manusia itu sendiri bukan mempersoalkan Kuasa Allah.
Bahaya Teologi Sebagai Antropologi
Edy Soge telah berhasil menyelamatkan kekeliruan Har Yensen, tetapi fokus yang berlebihan kepada kebebasan manusia membawanya terperosot dalam konsep teologi liberal, yang berupaya menjajdikan teologi sebagai antropologi. Edy dengan mengikuti gagasan Feuerbach menulis, “Sudah waktunya kita belajar dari Feuerbach bahwa manusia adalah Allah bagi sesamanya (Homo homini Deus). Teologi harus menjadi antropologi; antropoteisme; ‘menolak Allah’ untuk mengiyakan manusia”.
Peleburan yang radikal antara teologi dengan antropologi dalam teologi liberal semacam itu justru membawa teologi kehilangan identitas teologisnya. Edy boleh melepaskan diri dari teologi dalam refleksi tentang manusia dan bencana dengan menggunakan pendekatan antropologi tetapi keliru kalau dia mengharuskan teologi menjadi antropologi atau antropoteisme.
Sebagai ilmu, teologi dan antropologi bertumpu diatas objek kajian yang berbeda sebagai sebuah ilmu. Antropologi memfokuskan diri pada manusia, sedangkan teologi memiliki fokus utama yaitu Allah yang merevelasikan diri dalam Yesus Kristus. Bahaya mereduksi teologi sebagai antropologi juga akan membawa manusia jatuh dalam dosa antroposentris, sebuah usaha untuk menempatkan manusia sederajat bahkan lebih berkuasa dari Allah.
Perlu diingat bahwa dalam sejarah keselamatan umat manusia, dosa yang utama dan sering kali membawa manusia pada penderitaan dan bencana adalah ‘kesombongan’. Karena kesombongan Adam dan Hawa diusir dari taman Eden. Kebebasan dan kedamaian yang diberikan Allah disalahgunakan oleh manusia karena ‘lupa diri manusia’.
Antara Allah dan manusia, teologi dan antropologi harus diberikan batasan yang wajar, juga suatu jalinan relasi yang tidak diskriminatif; teologi tidak lebih tinggi dari antropologi atau sebaliknya untuk menunjukan superioritas suatu ilmu dari ilmu lainnya.
Karena itu gerbang Konsili Vat. II membuka upaya untuk mendamaikan segala model teologi dalam satu alur yaitu, ‘teologi kontekstual’. Stephen B. Bevans (Teologi dalam Perspektif Global, 2013/230) menulis, “Apa yang baru tentang teologi kontekstual ialah bahwa teologi dipahami sebagai sebuah dialog...antara pengalaman masa lalu dan pengalaman masa kini.” Dalam arti teologi dilakukan dengan membiarkan pengalaman kita saat ini diukur, dinilai, ditafsir, juga dikritik dengan berpedoman pada Tradisi dan Kitab Suci.
Jadi refleksi tentang bencana dan pengalaman manusia dalam situasi ini bisa menjadi locus theologicus bagi Gereja di mana Tradisi dan Kitab Suci dihidupkan kembali melalui kritik, menilai, dan ditafsir, untuk memberi jawaban dalam konteks masalah iman umat dewasa ini melalui kehadiran teologi kontekstual.
Nb. Tulisan ini pernah dimuat di media NTT Progresif (28/1/2021).
Komentar