Agama Tidak Fobia Politik! Sumbangan Pemikiran Habermas Tentang Posisi Agama Dalam Ruang Publik
GuruPendidikan.com |
Apakah agama bisa mengambil bagian dalam kehidupan politik? Pertanyaan ini tentu selalu menjadi soal dalam warna-warni kehidupan politik umat beragama di Indonesia. Diskusrus eksistensi agama di dalam kehidupan bernegara selalu menjadi persoalan yang krusial. Agama yang dianggap menempati ruang privat dalam urusan kenegaraan, sering kali dibatasi untuk terlibat dalam kehidupan politik. Dengan kata lain, agama tidak boleh ikut campur dalam urusan politik kenegaraan. Urusan politik adalah urusan publik sedangkan agama adalah urusan privat.
Salah satu tokoh abad 20, Jurgen Habermas adalah seorang yang sangat peka terhadap diskursus mengenai peran agama di ruang publik. Bagi dia, sebagaimana ditulis Franz Magnis-Suseno, agama-agama harus berpartisipasi dalam diskursus publik tentang ke mana kita mau bergerak. Tulisan ini akan mengantar kita kepada dialektika tentang konsep ideal hubungan agama dan politik dalam ruang publik dengan memakai teori demokrasi deliberatif, Habermas.
Untuk mengatasi ketegangan hubungan antara agama dan negara, Habermas menawarkan teori demokrasi deliberatif sebagai kerangka solusi. Istilah deliberasi berasal dari bahasa Latin deliberatio yang kemudian diadopsi dalam bahasa Inggris menjadi deliberation, yang berarti konsultasi, menimbang, yang atau dalam bahasa politik disebut musyawarah (Sun Choirol Ummah, “Dialektika Agama dan Negara Dalam Karya Jurgen Hebermas”. Humanika, Vol. 16, Nomor 1, September 2016, hlm. 86). Sedangkan demokrasi sebagaimana sudah dikenal luas berarti kedaulatan atau kekuasaan rakyat. Dengan demikian dapat dipadukan bahwa demokrasi deliberatif berarti perkumpulan rakyat yang membentuk suatu kekuatan dengan jalan musyawarah kepada mufakat.
Baca juga: Mengapa Bunuh Diri? Manusia Dalam Ruang Dilema Eksistensi, Erich Fromm
Gusti A. B. Menoh, memberi definisi demokrasi deliberatif (demokrasi permusyawaratan) sebagai suatu teori prosedural yang mengutamakan diskursus dalam proses-proses pembuatan hukum dalam masyarakat kompleks dan plural (Gusti A. B. Menoh, 2015:39). Dengan demikian jalan yang hendak ditawarkan Habermas dalam teori ini ialah kesepakatan komunikasi rasional antara warga dengan melibatkan pluralitasnya untuk mencapai suatu ide bersama dalam politik.
Oleh karena itu sebagai sebuah negara hukum demokrasi bagi Habermas, legitimitas politis untuk suatu tatanan hidup bernegara tidak ditetapkan dan diambil dari paham budaya atau agama tertentu, tetapi harus melalui dialog rasional seluruh elemen warga (Gusti A. B. Menoh, 39). Sebab dalam kehidupan demokrasi deliberatif, secara hukum mengafirmasi kesetaraan hak diskursif bagi seluruh warganya baik kaum religius maupun yang sekular. Habermas juga mengakui bahwa tradisi-tradisi religius secara substansial memiliki institusi-institusi moral yang berkontribusi bagi bentuk-bentuk kehidupan bersama yang manusiawi.
Fokus teori demokrasi deliberatif bukan pada aturan-aturan tertentu yang mengatur warga dalam kehidupan bernegara. Namun, lebih kepada struktur prosedur deliberatif yang menghasilkan aturan-aturan itu (Habermas, dalam Benhabib, Democracy, 22.). Dengan demikian teori ini membantu pembentukan keputusan-keputusan politis dan bagaimana aturan-aturan diambil agar dapat ditaati seluruh warga.
Selain itu karena demokrasi deliberatif menunjukan kedaulatan yang berada di tangan rakyat. Rakyat dapat secara leluasa mengontrol keputusan-keputusan pemerintah yang berkaitan dengan kehidupan bersama. Kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah atau yang memegang mandat dapat dikritisi rakyat. Dengan pengambilan bagian sebagai fungsi kontorl warga atas kebijakan pemerintah, maka secara tidak langsung kita teridentifikasi menjadi warga yang rasional, bukan irasional. Juga, dengan demikian kehidupan demokrasi deliberatif dapat berjalan dengan semestinya karena ada keterlibatan rakyat (kaum agamawan atau rakyat sekular) dalam perpolitikan.
Agama Dalam Ruang Publik
Ruang publik merupakan elemen mendasar dari konstruksi politik deliberatif. Habermas menegaskan bahwa ruang publik merupakan sebuah ruang otonom yang berbeda dari negara dan pasar. Ia otonom karena tidak hidup dari kekuasaan administratif maupun ekonomi kapitalis, melainkan dari Lebenswelt atau civil society (Gusti A. B. Menoh, 85). Dari konsep ini ruang publik dapat dipahami sebagai ruang di mana keadaan yang dapat diakses oleh semua orang yang melaluinya semua warga dapat berkomunikasi. Ruang publik di sini sebagaimana dikatakan Habermas, ia bukanlah suatu lembaga formal melainkan sebuah ruang politis sebagai suatu jaringan yang memungkinkan komunikasi dan pembentukan opini publik. Dengan demikian ruang publik harus bebas dari intervensi kekuasaan politik mana pun, sehat, dan kritis untuk tujuan bersama.
Dari perspektif teori demokrasi deliberatif, Habermas membuka jalan bagi agama untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik. Lebih lanjut kita akan melihat bagaimana bentuk dukungan Habermas terhadap agama untuk berkontribusi bagi negara hukum. Bagaimana agama dapat terlibat di dalam ruang politik publik?
Sebagaimana sudah dibahas bahwa dalam demokrasi deliberatif, Habermas menekankan keterlibatan seluruh elemen warga dalam proses pembentukan kebijakan publik. Salah satu elemen yang menjadi perhatian khusus Habermas dalam pembahasannya ialah agama. Agama tidak boleh didomestikasi dari ruang publik, karena agama-agama secara universal berbicara tentang persaudaraan, kedamaian, dan kebahagiaan (Sun Cheirol Ummah, 89). Secara tidak langsung agama memiliki pandangan universal tentang hidup bersama yang manusiawi. Habermas menegaskan bahwa setiap agama, pada hakikatnya dalah “pandangan hidup” (Habermas, 1984:111). Karena itu dalam diri agama-agama terdapat konsep-konsep rasional yang bisa dipertanggungjawabkan di hadapan publik.
Keterlibatan agama dalam ruang publik untuk diskursus-diskursus mengenai kebijakan politis harus melampaui sifat mitis-metafisis religius, dan masuk dalam ruang rasional sekuler. Sebab ruang publik politis tidak bisa menjadi religius atau berdasar pada doktrin komprehensif agama apa pun (Nicholas Adam, 2006: 2). Agama-agama harus terbuka kepada dialog intersubjektif. Membuka diri agar pengandaian-pengandaian metafisis agama diuji secara rasional. Dengan kata lain agama harus mampu mentransformasi diri dari agama yang secara partikular memiliki sifat-sifat mitis kepada agama yang rasional dengan konsep-konsep universal untuk hidup bersama.
Jadi perihal keterlibatan agama dalam politis dalam konsep teori ini, demokrasilah yang menjadi ikatan basis relasi dialektis antara agama dan negara. Negara yang demokratis berarti pula menjamin hak setiap warganya termasuk para pemeluk agama untuk ikut ambil bagian di dalam pembangunan bersama. Agama dalam memberi aspirasi publik harus mematuhi kaidah atau hukum negara demokrasi. Agama tidak berjuang secara partikular untuk mengintervensi negara dengan konsep-konsep doktrinalnya, tetapi ia harus menerjemahkan bahasa agamanya ke dalam bahasa rasional sekular. Bahasa yang bisa diterima secara universal dan juga tidak mendiskriminasi kelompok agama lain dalam realitas kehidupan yang plural.
Baca juga: NTT Butuh Pemimpin Yang Bernyali Besar
Mengenai esksistensi agama dalam ruang publik dirumuskan dengan lebih tegas oleh, Thomas Onggo Sumaryanto. Onggo membedakan dua poin penting mengenai bagaimana agama-agama harus menempatkan diri dalam ruang publik. Pembahasan ini berkaitan dengan hak kebebasan beragama dalam ruang publik dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Pembahasan itu mencakup dua dimensi yaitu, forum internum dan forum ekternum (Thomas Onggo Sumaryanto, “Kesalahan Konsep Antara Kebebasan Beragama dan Penistaan Agama dalam Ruang Publik Indonesia”. Jurnal Hukum Magnum Opus, Volume 4 Nomor 1Februari 2021).
Forum internum dalam kebebasan beragama terlepas dari intervensi negara, yaitu berkaitan dengan kesadaran dan pikiran seseorang. Sedangkan forum eksternum berkaitan dengan ekspresi dari kesadaran dan pikiran pribadi yang termanivestasi keluar dalam sikap atau tindakan. Kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan kebebasan untuk memeluk agama tertentu, termasuk dalam forum internum. Namun ketika kebebasan ini dilaksanakan di ruang publik bersama-sama orang lain maka ia terikat juga pada kebebasan itu sendiri, ini termasuk dalam forum eksternum.
Yang menjadi pokok perhatian Habermas di sini berkaitan dengan keterlibatan agama dalam dimensi forum eksternum. Habermas tidak secara langsung menghendaki campur tangan agama dalam politik. Karena bagi dia agama harus mengenal dan memahami batas-batas yang wajar dalam mengambil peran di ruang publik. Warga beragama harus juga belajar dari sains dan teknologi yang memiliki klaim kesahihan ilmu pengetahuan. Dan ia pun harus tunduk dan mengakui rasio sekuler yang menjadi basis negara hukum demokrasi (Habermas, 2008: 138-139). Dari sini kita dapat membaca bahwa sebenarnya Habermas tidak mengehendaki peran agama secara langsung dalam negara hukum demokrasi. Syaratnya, agama harus melepaskan diri dari tendensi untuk mengeksplorkan ajaran atau doktrin-doktrin keagamaannya dalam ruang publik rasional yang sekular, agar ia bisa diterima dalam realitas warga yang plural. Dengan menaati patokan-patokan ini untuk dasar eksistensi agama dalam ruang publik, niscaya agama akan memiliki kontribusi yang berarti bagi kehiduapan bersama.
Agama Tidak Fobia Politik, Sebuah Catatan Terhadap Realitas Perpolitikan Indonesia
Membaca Habermas dengan konsep demokrasi deliberatif untuk konteks Indonesia, sebenarnya sangat problematis. Penghayatan model demokrasi deliberatif di Indonesia mengenai peran agama dalam ruang publik masih sangat diskriminatif, karena didominasi oleh konsep mayoritas. Peleburan antara dimensi forum internum dan forum eksternum yang tidak memiliki batas yang jelas sering kali membawa pada pelbagai persoalan intoleransi hidup beragama di tanah air.
Agama-agama minoritas ditekan peranannya dalam ruang publik hidup bernegara. Dan agama mayoritas merasa superior dan bisa dikatakan bebas memanfaatkan ruang publik, seolah hanya mereka yang mendapat legitimasi dari negera hukum. Kita bisa membaca gejala-gejala yang kembali timbul saat ini. Misalnya, dalam riset yang dilakukan Eren Marsyukrilla; dia menemukan bahwa di tengah gencarnya persiapan konstelasi politik 2024, partai-partai politik yang bercorak Islam membentuk suatu keuatan baru di tengah dominasi polarisasi politik yang ada saat ini (Kompas.id, 4 Mei 2021). Selain itu dominasi kekuatan Islam ini bukan masalah yang baru. Ini sudah terjadi lama bahkan sejak saat dan sebelum kemerdekaan hendak diproklamasikan.
Untuk apa kekuatan berbasis agama itu perlu dibentuk? Dan kenapa bukannya merakit demokrasi? Pandangan yang konservatif terhadap ajaran-ajaran agama tertentu, yang membawa pada sikap radikalis, dan cenderung komunitarian, adalah gambaran kegagalan orang-orang beragama yang tidak mampu mentransformasikan nilai-nilai keagamaannya di dalam ruang publik. Dengan demikian sesuai prosedural demokrasi deliberatif Habermas, kita dapat mengatakan bahwa agama-agama yang termasuk dalam kelompok ini sebagai agama yang irasional. Agama tidak pantas mendapat ruang dalam kehidupan demokrasi, apa lagi terlibat secara politis.
Wacana diskriminasi agama hingga saat ini tidak pernah luput dari perhatian publik tanah air. Kasus Ahok yang dilengserkan dari Pilgub DKI adalah gambaran yang sangat jelas untuk dijadikan acuan runtuhnya demokrasi deliberatif di Indonesia. Ditambah lagi kekacauan pada konstelasi Pilpres tahun 2019 kemarin yang sangat sarat dengan muatan-muatan atribut keagamaan. Salah satu calon dinilai tidak agamais dan yang lainnya diusung maju untuk harapan agar mengembalikan kejayaan agamanya dalam ruang publik. Indonesia dan agama, adalah persoalan yang barangkali tidak akan usai. Sehingga kita mungkin bisa bertanya lebih jauh perihal keberadaan kita di tengah hidup bersama dalam suatu negara hukum. Siapakah saya sebagai warga negara untuk membangun tatanan politik bagi kebaikan bersama? Agamakah atau negara yang menjadi tujuan hidup bersama dalam politik demokrasi?
Realitas ketimpangan demokrasi yang karena dikendalikan oleh agama mayoritas dalam perpolitikan di ruang publik menjadikan politik sebagai fobia bagi agama-agama minoritas. Pertanyaan, apakah agama bisa mengambil bagian dalam kehidupan politik? Sebenarnya suatu jeritan dan keresahan minoritas atas dominasi mayoritas dalam ruang publik. Negara yang seharusnya punya andil yang bisa diharapkan untuk menegakkan kesamaan hak bagi setiap elemen warga, menjadi ciut dan tak bernyali di hadapan mayoritas. Justru produk-produk hukum negara yang didominasi oleh aspirasi mayoritas tidak sedikit membawa keuntungan bagi mayoritas dan mendiskreditkan kelompok minoritas.
Agama dan politik memang mempunya domain kerja yang berbeda, tetapi agama tidak boleh menjadi eksklusif karena akan bertentangan dengan hakikat demokrasi. Agama tidak fobia terhadap politik, karena nilai-nilai yang dikejar dalam poilitik hidup berdemokrasi terkandung juga intuisi-intuisi religius yang sakral. Karena itu sebagai alasan kesertaan agama dalam politik Habermas menegaskan, partisipasi agama harus berupaya mengartikulasikan intuisi-intuisi moral religius ke dalam ungkapan-ungkapan universal, dan tugas negara sambil mempertimbangkan isi kebenaran religius ia tetap mempertahankan prinsip-prinsip negara hukum modern yang berpijak pada akal budi rasional manusia (Sun Choirol Ummah,90). Niscaya, jika Indonesia dalam hal ini negara dan orang-orang beragama di Indonesia memahami hal ini, apa yang dikenal dengan fanatisme agama, diskriminasi agama, radikalisme agama tidak akan pernah terjadi.
Baca juga: Mengelaborasi Konsep Penciptaan Alam Semesta Versi Kitab Suci Versus Teori Evolusi
Jika ditilik dari perspektif sejarah untuk konteks Indonesia, agama sebenarnya memiliki peran sentral dalam peradaban bangsa. Di mana nilai-nilai agama telah berhasil ditransformasi dalam forma negara kesatuan yang berlandaskan Undang-Undang dan Konstitusi Negara. Sehingga kita tidak bisa menyangkal akan adanya nilai religius yang terkandung dalam Pancasila. Namun, yang perlu menjadi catatan penting di sini sebagai penghayatan yang benar akan ketentuan Konstitusi Negara itu, tidak melegitimasi kekuasaan oleh pihak atau agama mana pun. Pancasila sebenarnya mengandung nilai universal yang perlu dipahami oleh semua agama. Dan tugas agama-agama sebagaimana dianjurkan Habermas sebenarnya menjadi kontrol atas negara dalam penerapan dan implementasi nilai-nilai Pancasila itu dalam kehidupan bernegara. Agama bukan justru membangun kekuatan eksklusif radikalis yang kemudian mendominasi ruang publik dan melawan negara.
Lebih lanjut secara tegas sebagai sebuah negara demokrasi yang menjalankan prinsip deliberatif, agama-agama harus tahu diri. Para pemeluk agama-agama yang juga adalah warga negara harus mampu membangun relasi yang seimbang dengan negara dalam politik. Hubungan antara agama dan negara sebagaimana Habermas mengatakan bahwa agama sebagai sistem pandangan dunia berhadapan dengan sekularitas, keduanya harus saling belajar. Agama sebagai yang potensial menjadi patner negara (sekular) dalam mengkritisi dan meluruskan perkembangan masyarakat modern yang tampaknya sudah salah arah (Gusti A. B. Menoh, 105).
Proses saling belajar itu dapat dirumuskan secara lebih jelas oleh Gusti A. B. Menoh (109-110), sebagai berikut Pertama, para penganut agama-agama dituntut untuk mengembangkan sikap epistemik (rasional) yang tepat berhadapan dengan kenyataan pluralitas agama. Jadi semua warga religius harus mampu mencapai suatu kesepakatan bersama yang bertolak dari dasar keyakinan masing-masing secara reflektif tanpa mengabaikan kebenaran fundamental imannya. Kedua, warga religius harus belajar menyesuaikan diri dengan otoritas sains, sebagai pemegang pengetahuan sekular. Proses ini berhasil apa bila mampu mengelaborasi isi ajarannya dengan pengetahuan sekular secara tepat dan masuk akal, agar tidak terjadi pertentangan antara keduanya. Ketiga, warga religius juga harus setuju dengan premis-premis dasar negara hukum, bahwa yang berlaku dalam dunia politik adalah argumen-argumen yang sekular. Maka warga religius harus mampu mengintegrasikan prinsip kesetaraan individu dan prinsip moral universal filosofis ke dalam konteks doktrin komprehensifnya.
Kesimpulan dari ketiga bentuk relasi antara agama dan negara ini merujuk pada adanya keterbuaan warga religius dari agama-agama untuk membongkar struktur doktrin komprehensif yang secara tidak langsung berisiko destruktif bagi kehidupan negara yang plural. Dalam konteks ini, bisa juga termasuk upaya untuk membendung terorisme dan ISIS yang merupakan produk gagal dari demokrasi.
Penutup
Konsep Habermas tentang agama dalam ruang publik sebenarnya harus dipahami secara positif dan luas. Peran agama di sini, dalam artian ia harus terbuka terhadap realitas kemajemukan dengan mengajukan nilai-nilai universal untuk kebaikan hidup bersama. Jadi kehadiran agama di dalam suatu negara hukum demokrasi untuk terlibat secara politis, ia tidak tanpa kontrol. Dengan demikian Habermas sebenarnya sedang bersuara untuk menempatkan agama di dalam ruang privat. Dalam arti agama yang terlibat dalam politik ialah agama yang mampu menanggalkan jubah keagamaannya dan mengenakan pakaian sekular.
Peran agama dalam ruang publik berdasarkan pemikiran Habermas harus dibaca dalam kaca pandang ini, yaitu peran yang bersyarat. Indonesia dengan berbagai belitan masalah intoleransi agama yang terjadi di ruang publik adalah bagian dari un-understanding terhadap konsep sebagaimana yang ditawarkan Habermas. Karena itu, konsep mengenai peran agama dalam ruang publik demokratis untuk konteks Indonesia, perlu dilihat dari sisi tilik Habermas ini, agar terbebaskan dari berbagai kerusuhan hidup atarumat beragama.
Baca juga: Kalvari: Membaca Joko Pinurbo Untuk Angel (Ma Kyal Sin)
Komentar