KU PILIH JALAN INI

   Javen Falo

 

foto: Nasirullah Sitam



   Lima tahun sudah berlalu, dari penghujung langit diantara awan-awan putih, kupandangi tingginya gunung [1]OELETEN yang menjulang megah. Tempat awan putih bersandar ini adalah pemandangan yang tak biasa, tetapi menyejukan mata. Aku seolah-olah berada di bumi antah berantah. Aku sedang akan berpijak pada tempat dimana aku akan memulai langkahku. Tempat itu akan menjadi ribaan cerita tersendiri dari kisah yang kualami, dan dari situlah semuannya bermula.

Baca Juga: Guru Penggerak

    Tak ada sanak keluaarga tak luntur niatku dengan keberanian seadannya. Demi apa yang kucapai, tak ada kata pulang untukku. Namun, yang paling terkesan bagiku adalah perjumpaan dengan dua wajah baru. ‘’Rangga’’, katanya mengajakku bersalaman. Berperawakan tinggi dan bertubuh cukup besar untuk anak seumur kami. Dari garis-garis tangannya dapat kubaca kerja kerasnya melawan bebatuan karang. Lain halnya dengan yang satu lagi, ‘’Renal’’. Sambil cegar-cegir melihatku yang postur tubuhnya leblh gemuk daripadanya. Kulitnya hitam seperti dalam iklan aqua yang pernah kutonton, tetapi ia periang dan sifat jenakanya ialah bakat tersendiri. Belakangan ku tahu bahwa ia seorang yang pandai mengelak, atau lebih tepatnya bwersilat lidah. ‘’ Rian’’.  Jawabku sambil tersenyum ramah. Sejak saat itulah aku merasa punya keluarga.

    Pertemanan kami bertiga adalah hal penuh dengan ide-ide gila, tetapi selalu menjadi bagian hidup yang membekas dalam sukma. Rangga yang selalu menjaga kami, Renal yang hampir tak pernah sedih, dan aku sebagai penenang. Layaknya roda becak, tak lengkap rasanya tak ada seorang dari antara kami. Sebagai anak semata wayang, aku telah merasa mereka berdua sebagai kakak sekaligus adik untukku. Aku beruntung sebab mereka selalu mampu memahami. Sehingga bersama mereka adalah cerita yang berbeda, mulai dari dihukum bersama hingga sakit bersama.

    Tiga tahun bersahabat dengan mereka ku lalui banyak hal. Aku belajar banyak makna dan dan kutemukan jutaan kesan. Semua itu senada dengan bintang yang kulihat pada satu malam diantara deretan anak- anak tangga di samping lapangan sepak bola. Entah kenapa saat itu aku merasa ada sesuatu yang membawa aku pada sebuah permenungan panjang.

Baca Juga: Analisis Puisi Wingkarjo

    ‘’ ujian akhir nasional telah selesai. Kemanakah aku selanjutnya?’’, gumamku dalam hati. Kuhela nafasku, dalam hatiku aku merasakan sosok pemenang. Waktu yang kulalui  bukanlah waktu yang singkat bila aku lirik kaki kecilku. Aku berbangga karena saat itu dapat menjadikan diriku berarti. Senyum tergambar pada wajahku di bawah keremangan malam. Namun, bayangan wajah ibu membuatku tersentak. ‘’ bagaimana dengan ibu?’’ sekejap senyumku memudar. Itu bukan karena dinginnya malam, melainkan aku teringat pada perkataan ibu sebulan yang lalu. ‘’Rian, kamu pasti tahu perasaan ibu jika kamu tidak ada. Ibu hanya ingin di sisa akhir hidup ibu nanti kamu  ada disamping ibu dan memegang tangan ibu, ’’ mataku berkaca- kaca mengingatnya. Semua persis di hari aku memohon izin ibu untuk melanjutkan jejak yang sedang kutapaki. Semua jadi berbeda sejak kepergian ayah untuk selaamanya. ‘’ ibu ingin aku menemani sisa hidupnya “, aku menatap lirik lapangan yang ada di hadapanku.

    Tanpa kusadari Rangga datang  dan menepuk pundakku. ‘’ sedang  memikirkan apa?’’ tanya Rangga yang keheranan melihat aku tak seperti biasanya. Aku diam saja dan sepertinya Rangga mengerti  keadaanku. Tiba- tiba ia berkata: ‘’ sama sepertimu, aku juga memiliki masalah untuk hidupku selanjutnya. Kau pasti tahu keinginanku, tetapi bapak tidak setujuh dengan pilihanku semua itu semata- mata karena hukum adat yang mewajibkan aku menggasntikan posisi bapak sebagai kepalah suku. Kami bertengkar dan bapak dilarikan ke Rumah sakit karena mengalami hipertensi. Bagaimanapun aku merasa tak dapat menentang papa,’’ nada suara Rangga perlahan berat diakhir bicaranya. Aku mendengarkannya, tetpi kurasa memilih diam lebih tepat pada saat itu.

    Jauh dari keremangan di samping kananku kulihat sosok  yang hanya terlihat jaket putihnya. Ia mendekat dan setelah kuperhatikan ternyata Renal. Tanpa banyak kata ia duduk di sampingku dan bertanya, ‘’ kau tahu apa yang menyulitkan jalan panggilanku?’’. Aku  menggelengkan kepala. ‘’ itu adalah hal dimana aku mesti memilih cinta atau cita- cita.’’ Aku cukup tertegun melihatnya seserius itu. Ia melsanjutkan ‘’Merry memintaku untuk menemaninya ke Jakarta bila aku benar- benar mencintainya. Nsamun, kamu tentu tahu bagaimana selama ini kau berusaha mencapai tujuanku yang kusesalkan bukan sikapnya, tetapi cinta yang bersemi di penghujung panggilan dan cita- cita.’’ Kutatap lagi keremangan di depanku dalam kebisuan. Renal hanya tertunduk memandangi anak tangga di depannysa.

    Malam itu, masing -masing kami merenungkan hidup yang dialami ternyata memilih satu diantara dua bukanlah semudah yang terlihat. Setelah kebisuan seolah memperlambat jarum jam , Renal dan Rangga meninggalkan aku sendirian.  Kini aku hanya mampu menatap ke langit tanpa sadar hatiku berujar, ‘’ langit , jika ini memang pilihan yang baik bagiku , maka biarlah ibu merelakan aku demi takdir yang telah menggariskan tuk membawa hingga sejauh ini’’. Kata- kata penuh harrapan itu menutup  kemelut hati pada malam yang mengukur jalanku.

    Jika anda bertanya tentang apa yang terkadang tak disadari tetapi selalu msampu untuk menyadarkan anda, itu adalah waktu. Hal itu yang kurasakan saat menyadari bahwa aku dan dua sahabatku telah menyelesaikan perjuangan kami selama tiga tahun. Walaupun demikian, satu hal yang sangat ku sayangksn ialahderetan anak tangga itu menjadi saksi terakhir perjumpaan kami. Mungkn pertanda, bahwa sekalipun kami selalu bersama, tetapi pilihan hidup selalu saja berbeda.

    Lima tahun yang kini berlalu bukanlah waktu yang singkat dan juga bukanlah waku yang terlampau lama, tetapi bersamanya aku belajar jatuh tertatih, dan bangun berdiri, dan berjalan lagi. Aku yakin , mereka berdua pun mengetahui hal yang sama. Rangga kini telah menjadi kebanggaan keluarganya dan Renal telah membuktikan perjuangan cintanya tak berakhir sia- sia. Dan aku, telah menggapai apa yang aku perjuangkan. Ibu kini makin menua termakan usia, tetapi makin giat mendoakan panggilanku. Tuhan mendengarkan hati kecilku malam itu.

Baca Juga: Gereja Mesti Terlibat

    Akhirnya aku menyadari bahwa sekalipun jalan kami berbeda, tetapi dilalui dengan cara yang sama. Cara kami memilih untuk hidup dari jalan yang telah kami pilih. Dan aku dengan jaLanku, ‘’ selagi hari masih belum berakhir jejak hidupku akan kuukir. ’’ kalimat itu menjadi temanku saat menatap mentari dari depan pendopo biara.

THE END        



[1] Oeleten adalah sebuah bukit di hutan sabana yang berada di Desa Fatusene kabupaten TTU.

Komentar

Postingan Populer