Pesan Natal Dari Mama
Aku
baru menyadarinya kalau malam ini aku hanya seorang diri. Sendiri lagi untuk
sekian kalinya aku tidak melihat senyum dan tawa semua keluargaku pada hari
Natal. Ucapan Selamat Natal, pelukan, dan kecupan bahagia dari suara-suara dan
orang-orang yang menemaniku sejak kecil kini terasa jauh di dasar hati yang sepi terjerat rindu.
“Marry Christmas”.
Seperti biasa yang kusapa adalah
pohon Natal yang bisu dan Bayi Yesus yang berbaring menggemaskan dalam Rumah sederhana yang ditata di dalam Kapela di samping kanan altar. Sejenak kuterdiam menatap bayi Suci mungil itu,
“Yesus, Sampaikan Selamat
Natal untuk Mama, papa, dan semua keluargaku.”
Aku
meletakkan kedua lututku di depan rumah kanak-kanak Yesus. Persis seperti yang
biasa dilakukan mama bersamaku dulu. Saat semua orang telah meninggalkan Gereja
mama selalu mengajakku untuk sebentar mengunjungi Bayi Yesus dan berdoa di sana
meskipun papa dan kedua saudariku sibuk bersalaman dengan orang-orang di
halaman depan Gereja.
Aku
mengatupkan tanganku di dada dan kututup mataku sejenak untuk meninggalkan
duniaku yang bising. Hembusan lembut angin malam yang menyusup masuk dari
pori-pori bangunan Kapela membawaku pada
sebuah kenangan terakhirku merayakan Natal bersama mama dan keluarga sebelum
kumeninggalkan mereka dan masuk ke sebuah Sekolah Seminari Menengah.
“Mama takut dengan dunia yang akan kau tinggal” Mama mendekapku seperti
biasa kalau kami sudah selesai berdoa dan tepat saat itu pesan ini menggema di
telingaku.
Usiaku
waktu itu duabelas tahun. Meskipun nuraniku belum begitu mampu untuk mencerna
kata-kata itu namun memoriku takan usang tuk menggoresnya dalam ingatan hingga
saat ini.
Natal
waktu itu memang sungguh berbeda disamping hiruk pikuk dan keramaian ledakan mercon yang mewarnai langit cakrawala
Natal. Waktu itu juga Natal dibarengi perasaan resah dan cemas akibat teror
ledakan bom di beberapa Gereja di
bumi pertiwi ini. Bahkan Natal kami saat itu seperti saat sedang melakukan
upacara besar kenegaraan yang dikawal dengan beberapa kelompok pasukan keamanan
bersenjata.
“Situasi Natal tak lagi sedamai dan setenang dahulu pada jaman mama. Kini
dunia sudah berubah nak. Dunia tidak sebodoh dahulu. Kita tidak bisa lagi
memberi senyum sebebasnya kepada semua orang. Dunia telah berbalik, kamu akan menjumpai
orang-orang berwajah bengis memasuki kampung kita dan merampok semua kedamaian
yang kita miliki. Kamu harus kuat nak.”
Pesan-pesan
itu hingga kini selalu kembali terngiang dalam benakku bila aroma Natal kembali
menghiasi Desember.
Mamaku
seorang yang lembut, penyayang tapi tak pernah tawar menawar ketegasnnya. Mama
bersama ayah yang sangat sosialis
mendidik kami dalam irama kedisiplinan yang tinggi, semangat juang dan kerja
keras, juga satu yang tak pernah kulupakan ialah harus selalu peduli terhadap
sesama dan yang lainnya.
Kekayaan
yang ditanamkan sejak dalam keluargaku
ini hingga kini memudahkanku tuk melangkah maju dalam jalan pilihan hidupku
yang kini sudah menyandang status sebagai Biarawan.
Aku merindukan mama, papa yang telah
meninggalkan kami semua saat aku mulai memasuki Seminari Menengah Atas, dan
kedua saudariku yang selalu kurindukan sapaan pagi mereka sebelum aku keluar
dari selimut pacar malamku di atas ranjang. Aku tidak mengisahkan bagaimana
ayah meninggalkan kami, sebab dunia pun tidak pernah bertanya kenapa ayahku
sosok sosialis yang tak pernah mundur
menentang ketidakadilan itu harus mati dalam sebuah kecelakaan yang direkayasa
dan tak masuk akal itu. Darah itu masih mengalir dan basah pada tangan bejat
yang menulis skenario drama pengambilan paksa kehidupan ayahku.
“Ayah jagalah mama dan kami semua. Doamu dan doa kami akan selalu satu
dalam pengharapan yang sama. Mengharapkan dunia kita akan lebih baik.
Terimakasih ayah untuk jejakmu yang terlukis di hati ini.”
Aku
merindukan kalian semua.
“Marry Christmas.”
Aku
terjaga dari kebersamaanku bersama Bayi Natal dalam doa saat tetesan air mata
menetes hingga ke ujung bibirku. Situasi di sekitar Kapela telah sunyi. Biara
kami memang jauh dari keramaian kota ataupun perumahan penduduk karena itu
pekikan kembang api dan mercon yang
membakar langit untuk memeriahkan Natal malam itu tak pernah ada. Aku tak
tahu apakah itu merupakan perbuatan yang tepat merayakan Natal. Sebuah ketakutan
kalau mereka hanya mengagungkan keindahan kembang-kembang yang dibeli mahal itu. Indah
sesaat lalu lenyap. Anak-anak, orang muda, bahkan orang tua pasti akan sibuk
berlomba-lomba menunjukkan keindahan kembang api mereka masing-masing di atas
langit. Keindahannya juga diukur dari seberapa mahal kita mendapatkannya dari
toko. Semakin tinggi harga sebuah mercon atau
kembang api maka semakin indah pula sajian percikan apinya di atas ketinggian
langit.
Adakah
waktu itu adalah saat yang tepat untuk duduk sharing bersama keluarga. Membagikan suka cita iman Natal yang kita
alami terhadap anak-anak. Tidakkah saat itu mereka punya waktu untuk duduk bersama Maria dan
Yusuf menjaga Bayi Yesus dan berdoa. Tidakkah mereka tahu kalau banyak
orang Kristen yang tidak merayakan Natal malam ini oleh karena berbagai bencana
dan masalah sosial yang merenggut kebebasan mereka. Sebuah kecemasan kalau
sikap seperti ini membawa kita kepada cara hidup hedonisme. Terlalu mementingkan ritus-ritus duniawi yang
menyenangkan dan mengabaikan hal esensi dari Natal itu sendiri. Yesus lahir di
sebuah Kandang Domba yang hina. Kandang Domba ialah situasi dunia kehidupan
manusia yang kotor oleh ketidakadilan dan berbagai kejahatan. Bukankah momen
Natal ialah momen kita saling berbagi. Menunjungi Panti Asuhan, Orang-orang
cacat, dan sesama kita yang menderita. Tidakkah belanja mercon bisa kita sisipkan untuk menolong seorang bayi yang sedang
dioperasi pasca melahirkan di sebuah Rumah Sakit. Apkah arti sebuah Natal untuk
kita kalau kita tidak mampu ada bersama orang-orang yang kurang beruntung dan
menderita di sekitar kita. Merekalah Kandang yang perlu kita kunjung.
Mungkin inilah yang terkubur dalam pesan mama saat itu. Aku akan menghadapi
duniaku yang berbeda. Orang bisa saja bersukaria dan teretawa diatas
penderitaan orang lain dan bahkan atas dirinya sendiri. Orang tidak akan peduli
lagi dengan hidup ataupun nasihat klasik Kitab Suci tentang Hukum Cinta Kasih
itu.
Terimakasih
mama untuk petuah ini.
Aku
menyusuri lorong menuju kamarku sembari kuucapkan selamat Natal pada setiap orang
dan setiap nama yang silih berganti menyapa benak dan menyentuh jiwaku.
Terima kasih mama, papa, kedua saudariku.
Selamat Natal untukmu semua.
Sayup-sayup mataku disapu
hembusan lembut dingin udara malam. Malam kian larut aku lenyap dalam balutan dewi
malam di atas ranjangku.
Maumere, 24
Desember 2018
Komentar