Ayah
Ayah
Usiaku sudah dua puluh empat tahun dan sedikit lagi aku
akan merayakan tambahan usiaku yang kedua puluh lima. Selama itu pula aku hidup
dalam sebuah keluarga yang prematur, tanpa Ayah.
Kata Ayah dan nama Ayah pun
hampir tak pernah kulafalkan dalam hari-hariku. Menyebutkan kata Ayah hanya
menyisakan rasa benci yang menyesakkan dada dan ingin meledak di dalamnya.
Inilah
satu-satunya tulisan yang ingin kupersembahkan untuk Ayah yang kucintai. Dan aku berharap Ayah juga
mendengar dan kalau punya waktu bisa membaca tuangan hati pemilik rindu yang nihil
ini.
Aku duduk termenung di pinggir pantai di bawah sebatang
pohon bakau yang hampir tua direnggut abrasi dan barangkali usia bakau itu pun
sudah renta. Tubuh batangnya sudah tak sekekar masa mudanya dulu dan
akar-akarnya kian meranggas hampir kehilangan tumpuan.
Pandanganku beterbangan
menyusuri laut bersama alunan angin darat hingga ke batas-batas cakrala nan
jauh menghantar petang, mencari sosok yang darahnya mengalir dalam daging ini
tetapi sedikit pun tak kukenal sosok itu.
Bulir-bulir air mata jatuh mencicipi garis manis
lengkungan pipi ini yang kata ibu khas milik Ayah. Bayanganku buntut dan
kembali dengan lesuh menari-menari mengikuti irama gelombang dan rebah di atas
pasir bibir pantai.
“Tak
kutemukan..” Keluhnya.
Hidup, sungguh tak adil. Kau tinggalkan aku antara benci dan rindu yang hampa. Melarat dalam tanya yang tak pernah kutemu
jawaban.
Dimana kau Ayah.
Sejauh usiaku tak pernah kukenal sosok yang memberi garis
lengkung pada pipi ini, bahkan sebingkis wajah dalam potret suram pun tidak.
Bulir-bulir itu menetes jatuh dan bertengger di dasar pasir bersama asinnya
peluh laut biru.
Di
mana...akan kucari
Aku
menangis seorang diri
Hatiku,
selalu ingin bertemu
Untukmu,
aku bernyanyi...
“Oh... kemanakah harus kucari sosok itu. Mimpi juga
sekali saja tak pernah berpihak padaku.”
Aku mengambil kembali bayanganku dan mencoba untuk
membendung bulir-bulir harapan yang sudah lama selalu menemani rasa ini.
Daun-daun bakau tua itu mendendangkan irama lagu-lagu klasik tentang Ayah crescendo dan decrescendo sesuai hembusan angin yang menyapa.
Tambah sesak dada
ini. Syair-syair lagu yang kubenci sepanjang hidupku dan kini harus
kudengungkan sendiri. Sesungguhnya aku terlebur dalam rasa sedih yang tak
kumiliki. Rasa yang sama sekali asing, namun jiwa ini menangisinya.
Untuk
ayah tercinta
Aku
ingin bernyanyi
Walau
air mata di pipiku...
Ayah, bagaimanakah akan kulukiskan kisah tentangmu jika
dunia bertanya tentangmu. Perlu Ayah tahu, kata-kata ini kutuliskan dengan
sekuat tenaga yang kupaksakan dari imajinasiku yang mati oleh kata “Ayah” yang
telah kubenci.
Karena Ayah, aku telah membenci semua ayah yang menunggangi
putra mereka di pundak dan sambil menari ria. Semua ayah yang mengumpet putra
kecilnya di halaman rumah sambil tertawa lucu berggelindingan bersama putranya
di atas rerumputan...
Dan aku hanya menjadi penonton dengan seribu ingin.
Ayah, kini aku telah tumbuh dewasa. Aku tak pernah tahu
bagaimana menjadi sosok ayah yang baik untuk hidupku kelak. Aku tak memiliki
sayang dari Ayah. Aku takut gagal menjadi ayah yang bisa memberi sayang untuk
keluargaku kelak. Aku kehilangan kisah penting yang banyak dimiliki oleh
orang-orang disekitarku.
Aku bangkit bersama bayanganku yang telah kembali dari
balik cakrawala kelabu. Aku tinggalkan kenangan pada sebatang pohon Bakau itu
dengan ukiran indah nama Ayah. Kujejaki tapak pada bulir-bulir pasir putih
bersama Rinto dan berharap dia bisa menggubah syair lagunya...
Ayah dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi
Rindu. Kini aku sudah tidak memilikinya lagi. Ini lagu
milik Rinto Harahap. Aku meminjamnya sore tadi di bibir pantai agar bersama Pelikan
dan gemuruh laut sahabat sepiku mereka membawakan rindu ini kembali pada Ayah.
Rinto, terimakasih untuk lagumu. Namun kisah kita jauh
berbeda. Kau memiliki kenangan yang indah sehingga kau perlu menangisinya.
Sedangkan aku...air mataku jatuh pada rasa yang sukar kumengerti. Bukan pada
kenangan. Aku menangisi sesuatu yang tidak pernah kumiliki. Mungkin kau bisa
bayangkan itu. Sungguh anehkan. Maaf, aku juga tidak bisa melanjutkan bait
terakhir dari lagumu.
Aku harus pergi. Aku meninggalkan Rinto dengan sepotong
lagunya disapu pasang laut sore. Ayah, masih pantaskah aku memanggil namamu
kini. Adakah sebait mimpi yang masih kausembunyikan dariku. Aku letih Ayah.
Tenagaku talah habis memikirkan kata-kata yang tepat untuk kugambarkan tentang
Ayah. Kisah pilukah. Atau barangkali segenggam rasa bangga pada ayah. Iya, aku
memiliki bangga karena kehadiranku mencicipi dunia ini adalah perjuanganmu.
Usahamu yang terlampau singkat hanya memikirkan egomu dan kemudian meninggalkan
aku dalam selimut pilu milik Ibu. Apakah ayah pernah berpikir bagaimana aku
harus menanggung segala rasa yang ditinggalkan Ayah pada Ibu. Untung dunia
tidak begitu kejam pada aku dan Ibu.
Aku tersentak.
Seekor kepiting laut terbirit-birit kembali keperaduannya bersama pasang yang
langsung menelannya lenyap. Aku memang takut pada kepiting jenis apa pun,
terutama karena ia memiliki kedua lengan yang hebat untuk melumpuhkan apa pun
yang mengganggu kenyamanannya. Aku memang tidak pernah mengganggunya, tapi
sungguh aku selalu takut padat rupa satwa yang satu itu. Untung kali ini dia
juga tidak niat untuk menakutiku. Dia hanya berjuang agar tetap memiliki hidup,
mungkin saja dia punya keluarga dan sedang keluar mencari rejeki untuk
anak-anaknya.
Aku terkenang
akan petuah Ibu,
“Jangan
menyakiti siapa pun dan tidak boleh melukai apa pun”.
Ibu, adalah
malaikat satu-satunya yang kumiliki. Melindungi aku dan mengajarkan aku banyak
hal tentang hidup.
“Ayah,
kau harus berterima kasih pada ibu.”
Ia adalah petualang
hidup yang sejati. Tak kenal putus asa. Dan peluhnya tak pernah kering, sebab
aku hanya punya satu nama itu. Ibu.
“Maafkan aku ayah. Apakah aku yang tak bisa mengucapkan
terima kasih untukmu atau karena memang Ayah tak pernah ada saat aku ingin mengucapkan
terima kasih.”
Hari sudah semakin gelap hampir tak meninggalkan seberkas
binar putih pada cakrawala. Aku termenung lagi pada langkah yang telah tatih di
atas ruas jalan pulang. Aku ingin meninggalkan segala rasa tentang Ayah pada
jalan petang ini dan tak mau membawanya masuk bersamaku menemui Ibu.
“Ayah,
bisakah aku menyangkal Ayah.”
Fancy
Balo
Maumere,
01 Februari 2019
Komentar