Hobotopo, Gadis Cantik Dengan Banyak Lelaki
Hobotopo, bukan lagi sekadar gadis. Ia sudah menjadi ibu bagi kami. Ibu yang bersusah payah melawan nasib yang tak menentu. Demi ibu dan air matanya, kami harus mengembalikan senyum dan wajah girang itu dalam semangat bersama.
Aku pernah bermimpi untuk menulis kisah kelahiranmu dengan cerita yang menarik dan lengkap, tetapi orang-orang yang sejak awal mula beradu hidup denganmu, dibesarkan dan membesarkanmu sudah terlampau cepat kau peluk kembali dalam rahimmu yang damai. Dan aku tinggallah sepotong kenangan di atas angin yang sulit kugenggam.
Terngiang kenangan kecilku saat kau masih punya banyak sawa dan ladang untuk menopang hidup kami yang tinggal bersamamu. Ketika masih ada tawa-ria anak-anak bermain lumpur, mengejar belalang di antara bulih-bulih padi yang mulai menguning. Aku rindu sapa-tawa kita dengan tetangga-tetangga yang kala itu masih damai dan bersahabat.
Aku tahu, kau kini mungkin meneteskan air mata karena yang kau miliki hanya tinggal kisah bangga masa lalu. Massa di mana kau masih anak-anak dan belum memiliki paras cantik sebagai seorang gadis yang siap untuk dipinang. Sayangnya sebelum pinangan itu sempat direncanakan mahkota kegadisanmu diperkosa oleh tangan-tangan jahil yang terlampau lapar untuk memiliki cantikmu.
Pada suatu malam yang sunyi, ketika waktu berpihak padaku untuk kembali bernostalgia denganmu. Di depan teras rumah kau merangkulku dengan raut yang muram. Tangisan dan jeritan para penghunimu terdengar begitu jelas dalam batin yang tak berdaya ini.
“Sawah dan ladang kami dirampas, dan kini sedikit lagi pemukiman kami akan disulam menjadi lahan basah persawahan.”
Aku terpaku tak berdaya mendengar rintihan orangtua dan anak-anak yang hampir kehilangan arah dan hanya berpasrah pada nasib. Ia mereka hanya berpasrah karena tak punya kuasa, sedangkan yang punya kuasa kehilangan akal tuk memberi meraka makan. Aku sempat mengintip sebuah surat kasih milik penguasa bertanda 3 tahun 2012 tentang tata ruang wilayah kami untuk tahun 2012 sampai 2032, sebuah masa yang panjang namun sangat menentukan.
Salah satu isi surat yang merisaukan hatiku ialah “Hobotopo, Gadisku akan menjadi wilayah irigasi dengan luas lebih dari 3.000 Ha”. Akan kemanakah pemukimanmu? Kemanakah para penghunimu, di mana tempat orangtua dan anak-anak harus meletakan kepala disaat lelah mereka? Hobotopo sebuah kampung kecil dengan segala ketertinggalan di antara banyak wilayah pada daerah yang dibangga-banggakan kemajuannya. Jika ada yang belum kenal kami, “dengarlah... kami adalah orang Ngada, satu keluarga dan mungkin keluarga yang terabaikan”.
Aku menatap sunyi yang terkubur pada pekatnya malam, hampir latut. Tak ada satu pun rumah dengan cahaya lampu yang masih menyala. “Mungkin pelita telah kehabisan minyak...”. Anak- anak yang sudah terbiasa dengan gelap yang pekat tak mungkin lagi bisa duduk bercerita atau belajar di bawah terang pelita, karena sadar bahwa malam masih panjang.
Malam ini, esok dan entah... “Jangan lupa matikan pelita,” kata-kata ini sudah terbiasa dan sudah bisa dicerna oleh anak-anak dalam usia 8 bulan sekalipun, sebagai wejangan pengantar tidur. Artinya mereka diingatkan untuk hemat menyalakan lampu pelita karena untuk mendapatkan minyak tanah itu susah luar biasa. Selain jarak akses pasar yang sulit dan jauh, tetapi juga pendapatan yang menopang kebutuhan pokok mereka terlampau kecil dan bahkan jauh dari kata sedikit.
Hatiku yang kosong serasa penuh dengan banyak soal yang ingin kutanyakan, tapi kepada siapa... Aku termangu membolak balik diary gadisku. Penduduk Hobotopo 99 persen bermata pencaharian sebagai petani ladang. Penopang kebutuhan ekonomi mereka yang cukup membantu ialah hasil mente yang datangnya musiman, dan ternak untuk sebagaian orang saja.
Anak-anak muda, perempuan juga laki-laki kebanyakan harus meninggalkan bangku sekolah untuk membantu mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga dengan mencari pekerjaan ke luar daerah. Iya, aku sendiri mengerti, mengapa mereka lebih cenderung merantau...sebab tanah sawah harapan mereka telah direnggut oleh orang-orang yang mengaku pemilik tanah dan punya kuasa. Bahkan kami pernah bertikai dengan orang-orang yang ingin merebut paksa gadis cantik Hobotopo.
Namun, untunglah kisah dramatis itu tidak sempat terlalu jauh hingga pertumpahan darah. Penyelesaian atas masalah itu pun seakan diabaikan saja dan tak menuai titik akhir yang jelas. Orang-orang yang sawah-ladangnya direbut itu pun sudah berupaya mencari perlindungan. Hasilnya nihil saja, sebab masamu terlalu kecil untuk menunjang lajur kuasa yang berkuasa. Penguasa bukan milikmu. Itu milik mereka. Kami hanya menyadari itu sembari memendam air mata yang tak berdaya ini dan menyerahkannya pada nasib.
Malam sudah larut ditelan sunyi yang pekat. Kuingin membungkus semua rintihan orang-orang yang rindu kemerdekaan ini dalam catatan harianku sebagai surat rindu tak bertuan. Tidak semua kisah kelam perjuangan dan penderitaanmu kulukiskan. Namun, aku yakin dengan sentuhan sepotong kisah dan mengenang namamu saja sudah cukup membuat mereka yang ingin meminangmu sadar. Bahwa kau masih ingin hidup bersama dengan keluargamu lebih lama. Meski air matamu selalu jatuh mendamba keadilan yang mahal. Kemiskinanmu tak mampu memilikinya karena negara telah menjual keadilan itu pada tangan mereka yang berharta. Tangismu? Entahlah sampai kapan?
Pada tidur yang sunyi kuingin memelukmu dalam mimpi. Dalam genggaman doa yang dalam, kuingin melihat gadisku tersenyum ria. Mendapatkan kembali apa yang menjadi hak mereka untuk cita keadilan dan kedamaian yang asali. Aku pun terbenam dalam pelukan malam dengan segala kebebasan rasa. Aku hanya seorang pemuda dengan seribu cita tentang hidup dan gadisku, Hobotopo.
Meski diabaikan, aku akan terus bersua dan mengasah nalar kritis kaumku. Sudah saatnya kita bangun dari tidur dengan mimpi buruk yang panjang. Hobotopo, bukan lagi sekadar gadis. Ia sudah menjadi ibu bagi kami. Ibu yang bersusah payah melawan nasib yang tak menentu. Demi ibu dan air matanya, kami harus mengembalikan senyum dan wajah girang itu dalam semangat bersama sebagai sauadara serahim bahwa hidup tak bisa hanya berpasrah pada nasib semata.
Kami masih punya tangan dan kaki, rasa dan akal untuk maju. Merias wajah keruhmu menjadi cantik jelita. Mejagamu dari tangan-tangan jahil dengan hasrat ingin merenggut kegadisanmu. Diujung sadarku, berharap esok pagi aku bangun dengan cerita yang indah menyambut fajar kemajuan. Aku cinta padamu, gadis cantiku.
(*Cerita ini mengisahkan ungkapam hati penulis dari pengalaman dan pengamatan atas kisah nyata yang terjadi di kampung halamannya. Hobotopo merupakan sebuah kampung kecil yang terpencil di wilayah Kecamatan Soa – Kabupaten Ngada)
Oleh Fancy Ballo _ Penulis adalah Mahasiswa pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Tinggal di Maumere.
Note: Cerpen Ini pernah diterbitkan di sebuah majalah Online Vox NTT.**
Komentar