Atya Putri Sepi

Sudah lunglai langkah ini mengikutimu. Semangat ini habis tanpa serpih harap untuk mengecap senyummu kembali. Aku habis akal. Dirimu, jauh di dasar hatimu sungguh pelik tuk beriku alasan. 

"Mengapa kau masih diam seribu kata. Adakah aku telah bersalah padamu. Sungguhkah aku telah melukaimu."

Aku tak mengerti mengapa kau begitu degil menuruti egomu. Ingatkah kau kala kita masih tinggal seatap. Kau berikan senyum menawan saat kita saling tatap, bercanda dengan tingkahmu yang membuatku tak berhenti memanjakanmu. 

"Athya, aku tak ingin semuanya ini pergi. Bicaralah padaku."

Tiga bulan sudah berlalu kisah-kisah manis kita. Selama itu pula tatapanmu menjadi kerinduan yang mencekam, seakan ada kaca pemisah antara kau dan aku. Tak kelihatan, namun begitu jelas membatasi. 

"Athya, hatiku sungguh tak nyaman dengan keadaan ini. Aku melakukannya sebab aku hanya ingin memahamimu dan menghargai kebebasanmu. Jangan kau berpikir itu tanpa cinta." 

Kau ingat crescendo puisi yang kutuliskan untukmu. Itu benar adanya. Jangan kau mengira aku melewati hari-hariku tanpa memikirkanmu. 

Tiga bulan, waktu yang cukup panjang untuk seorang yang melakukan perjalanan, bagaimana dengan hati yang menunggu. 

Mungkin sulit bagimu tuk jujur, kau membenciku. Kau membenciku karena kisah aku dan Nona Inang pada cerpen “Aku mencintai tetanggaku” yang sempat kau baca itu kan. 

"Athya, mungkin aku hanya menerka. Berilah jawaban yang pasti agar kaca itu bisa pecah dan aku bisa memelukmu dengan cinta yang diterima."

"Athya, gadis sepi."

Aku tak kuasa bertahan dalam tatapan tanpa kata. 

Disela-sela kesibukanku, aku selalu berjuang sedetik saja ingin melihat wajah lembutmu. Kau istimewa tersimpan dalam ruang hati ini. Aku tak peduli lagi bila kau tambah membenciku dengan guratan fiksi sederhana ini. 

"Aku mencintaimu." 

Meski sampai kapan kita akan tetap tinggal dalam sepi, aku akan tetap menyimpan rasa ini. 

"Athya, sejak awal mengenalmu diam-diam aku telah jatuh cinta. Bila kau tak suka, kau tak perlu dengar itu. Ini irama laguku, syair bisu dalam jiwa terlarang. Pemilik cinta yang cundang."

Aku memang pria yang mudah merasakan jatuh cinta, namun tak mudah tuk katakan cinta. Sejak rasa ini ada untukmu, aku memilih untuk mencintaimu dengan caraku sebab aku takut pada rasa yang kadang merendahkan wibawa pikiran bijakku. Aku hanya ingin mencintaimu tanpa harus memaksamu untuk tinggal bersama cintaku.

"Athya, bicaralah padaku. Aku rindu tingkah lucumu." 

Sudah lama aku tak menyentuh ragamu dalam canda bersama sahabat lama kita. Kau kenal sahabat lama kita yang sudah berpindah ke Italy yang menjadi teman curhatmu, dia juga sering mendengarkan kisahku. Dia selalu bertanya bagaimana keadaan kita. Dia yang menasehatiku untuk merangkulmu kembali. Dia ingin kita baik-baik seperti dulu. 

"Maukah kau berbicara denganku, Athya."

Jika sejak awal aku tak mengenalmu dan menyimpan rasa tentangmu tak mungkin hatiku menjderita sejauh ini. 

Athya, aku tak ingin kaca itu menghalangi kita. Jika hatimu keras seperti batu, pakailah untuk meretakkan kaca itu. Aku akan ikut memecahkannya dengan keberanian daging hatiku meski sampai berdarah asalkan tak ada lagi pemisah antara kita. 

Sepi ini terus mengusikku. Meski pandangan mata selalu ingin lari darimu, namun hasrat hati selalu menagih mencicipi teduh wajah manismu.

Di satu senja panorama kecantikan milik Pantai Ria. Ketika bayangan candi-candi kota dan perbukitan mulai berjatuhan ke pantai laut, tinggalah aku dan barisan sepi sampan-sampan nelayan. 

"Athya, kau bukanlah makhluk yang ada dalam mimpiku. Kau ada pada setiap sadarku."

Kita selalu ada bersama dalam ruang perjuangan merajut masa depan. Kadang sesekali kita saling bertatap namun tatapanmu cukup kejam membunuh hatiku yang selalu merindukanmu dalam sepi, tanpa hiasan senyummu juga suara. 

Hari kian larut, fajar senja sudah hilang pergi ditelan dewi malam. Athya masih ada dalam benak yang riuh bersama sahutan derai suara laut  selatan tubuh cantik Ria. 

Aku kisahkan rasa hatiku pada Ria yang bisu, namun suka mendengar dengan sabar. 

"Athya, bisakah kau seperti Ria mau mendengarkan nyanyian hati yang terabaikan ini. Bacakan kisah ini untukku, juga untuk kita. Mari kita kembali jalan bersama."

Hembusan nafas Ria yang dingin membawaku pada lorong jalan pulang. Aku telah menitipkan rinduku pada secarik kertas surat cintaku untuk Athya pada Ria, agar esok pagi Athya bisa menemukan rinduku. 

Kusudahi kata-kata tentang Athya yang bergelantungan dalam benak ini. Aku harap esok Athya bukan lagi sebuah kisah antara rindu dan mimpi. Athya bukan lagi Putri Bisu. Esok Athya adalah hidupku, berjalan bersamaku dan bersama menyusun kotak puzzle yang kemarin sempat terputus. 

"Athya, sebelum malam ini pergi, terimalah maaf dari hati yang linglung pada bayangmu."

Biarlah fajar esok bersinar jernih menembusi cahaya bening bola matamu, agar kau bisa melihat rindu yang telah membatu di hati ini.


Fancy Ballo

Komentar

Postingan Populer