Menagih Janji

sumber ilustrasi: hidupkatolik.com

Selama tiga hari terakhir, Kompas secara konsisten memuat catatan terkait kerusuhan Mei 1998. Dalam kompaspedia.kompas.id, (10 Mei 2021) “Hari-Hari Mencekam Kerusuhan Mei 1998: Kronologi Peristiwa,” Arief Nurrachman mengulas peristiwa kerusuhan itu secara detail dengan waktu dan tanggal secara beruntut. Ia menggambarkan bagaimana kerusuhan itu sebagai puncak dari akumulasi krisis ekonomi di tanah air kala itu. Dan yang terpenting sebagai bahan pembelajaran untuk pemerintahan saat ini ialah, bahwa kerusuhan itu terjadi karena hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Kita berharap itu tidak akan terulang lagi.

Selain itu Yohanes Mega Hendarto (YMH) dalam kompas.id, (11 Mei 2021) “Maaf, Negara Belum Hadir Sepenuhnya” dan kompas.id, (12 Mei) “Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Masih Tak Tentu”. YMH berusaha untuk mengampanyekan upaya rekonsiliasi yang harus segera dilakukan pemerintah, demi tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila kelima Pancasila). Mengenai tulisan dia akan dibahas tersendiri di sini.

Mari sejenak kita berpikir bersama, masa pemerintahan Jokowi kini tinggal separuh lagi dari lima tahun kepemimpinan di periode kedua ini. Para pemerhati politik dan publik Indonesia mulai mengarahkan keperihatanan mereka pada janji-janji politiknya yang sampai saat ini belum terealisasi. Ini sungguh meresahkan publik dan saya pun menaruh keprihatinan di sini. Salah satu janji politik itu adalah upaya rekonsiliasi untuk menyelesaikan pelbagai kasus pelanggaran HAM berat negara di masa lalu. Kaus pelanggaran HAM berat itu sebagaimana yang dicatat oleh Arief dan menjadi keprihatinan YMH dalam ulasannya. Dari janji politik Presiden Jokowi yang belum terealisasi ini, sebagai warga negara demokrasi yang kritis dan rasional kita mesti juga bertanya. Apa yang harus kita buat untuk mendesak pemerintah agar segera membebaskan bangsa dan negara dari beban sejarah masa lalu ini? 

baca juga: Guru Penggerak

Catatan Yohanes Mega Hendarto (YMH)

YMH, pada catatan pertamanya (11 Mei) punya harapan bahwa di tengah momentum Idul Fitri ini, pemerintah bisa menggunakan kesempatan untuk meminta maaf kepada korban dan keluarga korban kerusuhan Mei1998. Ia memaparkan bahwa ada lima peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi menjelang revormasi. Rangkaian peristiwa luka sejarah itu antara lain; Peristiwa Trisakti, Tragedi Semanggi I, Semanggi II, penghilangan orang secara paksa 1997-1998, serta kerusuhan Mei 1998 termasuk pemerkosaan terhadap warga etnis Tionghoa. Rencana pemulihan atas peristiwa-peristiwa ini masih menumpuk di meja kerja presiden. Para korban dan keluarga korban masih terus memikul penderitaan ini dan entah sampai kapan. Upaya pemerintah dan janji yang tak terealisasi menjadi penantian yang menambah luka, bahkan nanah.

YMH juga mengajak pemerintah dan warga Indonesia pada umumnya, untuk boleh belajar dari upaya-upaya rekonsiliasi yang ditempuh negara-negara lain dalam rangka pembersihan catatan hitam sejarah bangsanya. Semisal, Willy Brandt yang kala itu sebagai Konselir Jerman Barat 1970 dalam momentum peringatan Yahudi korban Ghetto Warsawa di Polandia. Dia dengan rendah hati berlutut di hadapan monumen peringatan itu tanpa mengucapkan sepatah kata. Peristiwa ini sekaligus merupakan catatan pertama dunia tentang negara yang mengakui dan meminta maaf atas kesalahan di masa lalu.

Selain itu juga, YMH mengangkat contoh Pemerintah Argentina yang mengakui kekejaman rezim kediktatoran (1976-1983) dan menggelar peringatan para korban untuk pertama kalinya di Buenos Aires. Tidak hanya perminaan maaf, pemerintah Argentina akhirnya menjatuhkan vonis bersalah terhadap Alfredo Astiz dan Jorge Eduardo Acosta dalam pengadilan HAM pada 29 November 2017. Keduanya divonis bersalah sebagai dalang tindak kekejaman, pembunuhan masal, dan penghilangan paksa ratusan orang di masa lalu.

Demikian pun Belanda, pada 12 September 2019, Tjeerd de Zwaan Duta Besar Kerajaan Belanda menyampaikan permohonan maaf kepada janda dan keluarga korban kekerasan dalam aksi polisionel Belanda tahun 1945-1949, di Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis, Jakarta. Beberapa catatan bentuk rekonsiliasi dari negara lain ini bisa menjadi buah refleksi dan sekaligus penentuan sikap oleh pemerintah Indonesia dalam penyelesaian permasalahannya ke dalam.

Pada catatan kedua (12 Mei), perehatianan YMH lebih berpusat pada korban pemerkosaan  warga etnis Tinghoa, yang dinilainya sering luput dari pemberitaan media. Ia mengungkapkan bahwa tragedi terkait masih menyisakan luka yang sangat dalam bagi para korban dan keluarga korban. Jumlah korban kekerasan seksual itu pun dicatat ada 85 orang yang terverifikasi sejauh ini oleh tim gabungan pencarian fakta (TGPF). Meskipun kini mereka sudah berada di bawah pengawasan dan pendampingan Komnas Perempuan dan Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK), mereka juga membutuhkan pengakuan oleh pemerintah secara sosial dan hukum.

Sebagai sebuah tawaran dan pencarian bentuk rekonsiliasi yang tepat untuk persoalan ini, YMH melakukan jajak pendapat dan menemukan berbagai varian tawaran sebagai solusi pemecahannya (lihat kompas.id 12 Mei 2021). YMH juga mencatat langkah-langkah yang diambil pemerintah sejauh ini. Pertama, Pemerintah Jokowi, membentuk Tim Terpadu Penanganan Pelanggaran Ham Berat (TTPP-HB) pada 2019, dan meminta Jaksa Agung untuk segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Lanjutannya, pada desember 2020 Jaksa Agung membentuk Tim Khusus Penuntasan Dugaan Pelanggaran Ham Berat.

Kedua, Pada Maret 2021 lalu, pemerintah membahas pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat (UKP-PPHB). Namun, YMH mengkhawatirkan bahwa langkah ini akan menjadi upaya pemerintah untuk menyelesaikan melalui mekanisme non-yudisial dan menghindari proses pengadilan HAM terhadap para pelaku.

Dengan merujuk pada UU Nomor 26 tahun 2000 tantang Pengadilan Hak Asasi Manusia, YMH menerangkan bahwa para korban dan keluarga korban berhak mendapat perlindungan fisik dan mental, memperoleh kompensasi, restitusi, serta rehabilitasi. Karena itu aspek yang mau ditekankan YMH dalam proses rekonsiliasi politik ini ialah agar adanya keadilan untuk pemenuhan hak korban dan keluarga korban yang mesti diupayakan pemerintah. Dan dia menganjurkan penyelesaian melalui jalur hukum atau pengadilan HAM. Juga beberapa aspek lain yang disorotinya untuk dipenuhi negara mengenai hak material, seperti ganti rugi atau santunan dan pengakuan sosial akan adanya peristiwa pemerkosaan saat itu.

baca juga: KPK Ujung Tombak

Janji Harus Ditepati

Dalam pemaparan visi misi Jokowi-Ma’ruf pada pemilihan Presiden 2019 lalu, baik dalam debat publik dan kempanye terbuka, dijanjikan bahwa negara hadir dalam penegakan HAM. Dengan tegas pasangan ini menyatakan bahwa pemerintah akan melanjutkan penyelesaian yang berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu (merdeka.com, 14/02/2019).

Sejauh ini, jika meihat dari janji kampanye Presiden Jokowi dengan membandingkan perealisasiannya saat ini, kita boleh sepakat bahwa upaya rekonsisliasi akan menjadi sekadar wacana yang tidak  akan pernah tercapai. Saya sangsi. Lembaga demi lembaga yang diusung dan dibentuk hanya menjadi sarapan ringan di ruang publik agar sedikit memberi warna pengakuan publik bahwa pemerintah punya andil. Namun, separuh periode telah berlalu dan tak terasa semuanya akan hilang.

Apa yang menjadi keraguan saya, mungkin juga publik atas janji Presiden Jokowi kali ini bukan tanpa dasar. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu pernah berjanji hal serupa pula pada masa kampanye di periode pertama tahun 2014 lalu (Kompas.com, 06/02/2017). Jokowi-JK kala itu berjanji akan menuntaskan ksus pelanggaran HAM berat masa lalu, dan kini mata sadar kita bisa terbuka untuk melihat. Apakah janji itu sudah ditepati? Tentu saja tidak.

Kini roda kedua era kepemimpinannya sedang berlangsung dan sudah mencapai separuh periode sebagai Presiden. Bangsa Indonesia terutama jeritan para korban dan keluarga korban masih menanti upaya Presiden Jokowi untuk mengobati juga menyembuhkan luka sejarah msa lalu itu. Janji seorang pemimpin adalah kehidupan bagi warga yang dipimpinnya, demikian pun jika pemimpin mengingkar janji maka akan menimbulkan luka yang dalam bagi kehidupan bangsa ini.

Perihal janji dan terealisasinya janji dalam kehidupan demokrasi Indonesia adalah suatu padadoks. Sebab memang demokrasi identik dengan konsep-konsep ideal politik (janji). Di satu sisi adalah janji dan di sisi yang lain adalah tugas. Janji tidak menuntut akan terwujudnya suatu demokrasi yang autentik, karena itu segala hal yang ditandai sebagai demokrasi harus selalu dipertanyakan dan dikritisi. Maka, sebagai warga negara yang rasional menurut Habermas (1989), harus memanfaatkan ruang publik secara efisien untuk mengontrol kebijakan (janji) pemerintah demi terpeliharanya demokrasi itu sendiri.

Janji politik yang diberikan Presiden Jokowi perihal penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu perlu mendapat pengawasan publik, citizen yaitu warga. Sebagai pemerintah Jokowi berkewajiban untuk menepati janji karena juga adalah tugasnya. Dan kita sebagai warga memiliki hak yang sama untuk menggunakan segala saran publik, menyuarakan gagasan kritis-etis, untuk menagih janji itu karena berkaitan dengan pemenuhan hak-hak kita.

Kompas, terutama para penulis, Arief dan YMH yang menginspirasi saya dalam keperihatinan bersama ini telah memberi jalan untuk bagaimana terlibat dalam ruang publik politik yang rasional. Kehidupan berdemokrasi, bukan bentuk kehidupan negara yang monolit, yang menanti dan pasrah saja pada apa yang akan dilakukan pemerintah. Demokrasi adalah bentuk kedaulatan atau kekuatan kita sebagai warga untuk mengambil bagian dalam dinamika politik. Termasuuk juga adalah mengontrol kerja pemerintah dan menagih janji politik untuk pembangunan kehidupan bersama, dan menuntut penegakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 


Komentar

Anonim mengatakan…
Kapan upaya rekonsiliasi politik ini benar2 terwujud? Negara begitu sulit untuk meminta maaf.

Postingan Populer