Membangun Pamahaman Seksual Bagi Yang Berkelainan Seks Untuk Mencegah Diskriminasi Gender

 

KESETARAAN GENDER | Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

gambar: dp2pa.luwuutarakab.go.id


Bertolak dari fakta sosial bahwa kerap terjadi diskriminasi gender yang masif di Indonesia, hal urgen dan penting yang harus menjadi perhatian kolektif adalah merekonstruksi bentuk pendidikan seksual. Pendidikan seks dan seksualitas yang sudah selalu dikampanyekan agar diberikan sejak dini pada anak-anak, hemat saya masih dinilai pincang. Pemahaman seksualitas yang ditawarkan dalam ruang pendidikan formal bagi anak-anak masih terhegemoni pada pengenalan akan status seksual mereka sebagai laki-laki dan perempuan yang normal, tanpa memberi ruang kepada pemahaman anak akan prilaku seksual ‘yang lain’.

Perilaku seksual yang lain dimaksudkan dalam konteks ini ialah apa yang secara sosial lebih dikenal dengan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) yang hemat penulis mesti juga menjadi perhatian dalam pendidikan seksual terhadap anak usia dini. Anak mesti dibangun pengenalan hingga sampai pada pemahamannya sejak dini perihal identitas seksual yang lain ini. Term identitas seksual yang lain kiranya lebih etis untuk tanggung jawab episteme dari pada ungkapan kelainan seksual atau penyimpangan seksual. Dan selanjutnya dalam tulisan ini akan digunakan term identitas seksual yang lain.

Mengenal Indentitas Seksual Yang Lain

Tidak bisa dipungkiri bahwa kemapanan edukasi oleh agama-agama bahwa manusia diciptakan sebagai Adam (laki-laki) dan Hawa (Perempuan) mesti dirongrong dengan fakta pengakuan akan adanya LGBT. Eksistensi LGBT yang populasinya kini semakin besar dalam kehidupan bermasyarakat dengan berbagai perjuang mereka untuk diakui dan diterima secara sosial, mesti mendapat respek yang lebih manusiawi oleh semua pihak. Mereka bukan lagi sebagai photos atau penyakit masyarakat yang perilaku seksualnya dinilai menyimpang atau berkelainan, tetapi mereka ada sebagai pribadi ‘beridentitas lain’.

Sebelum masuk pada petangungjawaban mengapa pendidikan seksual terhadap yang beridentitas seksual lain ini menjadi penting bagi anak usia dini, terlebih dahulu perlu untuk diketahui apa itu LGBT. LGBT adalah singkatan dari Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender. Lesbian, adalah homoseksual (keretarikan seksual atau kebiasaan seksual) antara sesama wanita, sedangkan gay adalah homoseksual antara sesama laki-laki. Dan biseksual adalah ketertarikan seksual atau kebiasaan seksual kepada pria maupun wanita sekaligus (Abd. Mukhid, “Kajian Teoritis Tentang Perilaku Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) Dalam Perspektif Psikologis Dan Teologis”. Jurnal Sosial, Politik, kajian Islam Dan Tafsir. Vol. 1, No. 1, Juni 2018).

Sedangkan transgender adalah seseorang yang mengenakan atribut-atribut gender berlainan dengan konsepsi gender yang dikonstruksikan secara sosial oleh masyarakat (Anindita Ayu Pradipta Yudah. “Representasi Transgender dan Transeksual dalam Pemberitaan di Media Massa: Sebuah Tinjauan Analisis Wacana Kritis.” Jurnal Kriminologi Indonesia. Vol. 9, No. 1, Desember 2013). Yang lebih dekat dengan pengertian ini ialah mereka yang dikenal luas sebagai waria (wanita-pria) atau priawan (pria-wanita). Mereka yang secara fisiknya adalah laki-laki memiliki alat kelamin sebagai laki-laki, dll. tetapi mereka mengekspresikan gendernya sebagai perempuan, demikian pun sebaliknya.

Istilah lain yang dekat dengan transgender adalah transeksual. Yiatu mereka yang karena kecenderungan untuk mengekspresikan gendernya berlainan dengan konsep gender secara sosial memutuskan untuk mengganti alat kelamin dan berbagai atribut gender yang dibutuhkannya agar dapat diterima oleh masyarakat, dan bahkan untuk kebutuhan perkawinan. Gender adalah karakteristik atau sifat-sifat khas sebagai seorang laki-laki atau perempauan sesuai dengan jenis seks bilologisnya.

Dari pengetian di atas dapat disimpulkan bahwa LGBT adalah mereka yang memiliki daya tarik seksual, kebiasaan seksual, juga kebutuhan seksual, dan perasaan gender, yang tidak secara normal sebagaimana pengenalan seksual atau gender oleh lingkungan sosial masyarakat pada umumnya. Dengan demikian kelompok yang termasuk dalam identifikasi identitas ini dapat digolongkan ke dalam kelompok minoritas dalam masyarakat.

Sebagai yang minoritas dan karena identitas seksual dan gendernya yang tidak biasa oleh karena keberlainan sebagaimana dijelaskan di atas, kelompok ini pun sangat rentan terhadap perlakuan yang tidak adil dan diskriminatif oleh masyarakat mayoritas. Keberadaan mereka seringkali dipandang sebelah mata, dinilai rendah, dan bahkan tidak sedikit distigmatisasi sebagai penyakit atau aib dalam kehidupan bermasyarakat.

Diskriminasi Terhadap LGBT Sebagai Diskriminasi Gender

Secara luas pemahaman akan diskriminasi gender selalu dikaitkan dengan eksistensi perempuan yang sering diidentifikasi diri sebagai kelompok nomor dua dibawah kelompok kaum laki-laki. Dalam konteks ini, dengan nada yang sama saya menemposisikan konsep tersebut lebih kepada kaum LGBT. Dengan demikian pertanyaannya: Apa saja bentuk diskriminasi gender yang di alami oleh kelompok LGBT?

Dalam buku “Jadi, kau tak merasa bersalah!? studi kasus Diskriminasi dan Kekerasan terhadap LGBTI”, Ariyanto dan Rido Triawan (2008) memiliki fokus yang konsisten sebagai kritik atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang diskriminatif terhadap eksistensi LGBT. Ariyanto dan Rido menegaskan posisi LGBT yang seharusnya memiliki hak yang sama sebagai warga negara dan patut mendapat bantuan hukum dari negara, tetapi justru negara menciptakan berbagai kebijakan yang mengasingkan mereka dari kehidupan sosial bermasyarakat.

Selain pemerintah, keduanya juga menyoroti beberapa Ormas keagamaan yang menjadi penyumbang terbesar bagi kekerasan terhadap LGBT yang terjadi di Indonesia. Dan bahkan Lembaga Sosial Kemasyarakatan (LSM) yang membela kaum LGBT pun mendapat teror (Ariyanto dan Rido Triawan, 2008: 68). Tujuan perjuang mereka dalam buku tersebut kurang lebih senapas dengan tujuan penulisan ini, agar LGBT diakui sebagai kelompok sosial. Dan bahkan lebih jauh mereka bukan saja sekadar sebagai kelompok sosial, tetapi mereka adalah bagian dari warga masyarakat yang lebih luas di bawah payung HAM.

Bentuk diskriminasi yang dialami kaum LGBT seturut laporan Yuli Rustinawati Ketua Arus Pelangi (salah satu lembaga swadaya masyarakat yang membela hak-hak kaum LGBT) dalam diskusi Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menangani pembangunan (UNPD) tentang kondisi LGBT di Indonesia, kurang lebih ada lima bentuk diskriminasi (bbc.com, 14 Agustus 2014).

Perrtama. Diskriminasi aspek fisik. Pada poin ini yang paing menonjol tentu terhadap kelompok transgender. Ekspresi gender yang berseberangan dengan identitas seksual mereka, sering mengundang perhatian yang represif dari masyarakat. Meski secara fisik, kaum transgender agak berbeda dengan kelompok lesbian, gay, dan biseks, namun tidak berarti tiga kelompok yang lain terbebas dari diskriminasi fisik.

Kaum LGBT sering mendapat stigma sebagai pengganggu stabilitas masyarakat, apa lagi di daerah-daerah yang sangat konserfatif dengan ajaran-ajaran agama. Mereka sering mendapat perlakuan diganggu atau di-bullyng, dikejar, ditolak dalam dunia pekerjaan, berorganisasi, karena penampilan fisik, dan orientasi seksual yang “tidak normal”, dan bahkan tidak sedikit mendapat kekerasan secara fisik.  

Kedua. Diskriminasi psikis. Akibat lanjutan dari poin pertama di atas, kaum LGBT tentu akan mengalami tekanan psikis yang bisa berujung pada depresi berat (distress) dan trauma untuk berinteraksi secara bebas dalam kehidupan sosial. Mereka merasa tidak bebas dan tidak nyaman karena mengalami penolakan dalam lingkungan sosial, orangtua, keluarga, bahkan ada penolakan mengapa dilahirkan demikian dari diri mereka sendiri.

 Ketiga. Diskriminasi Seksual. Diskriminasi bentuk ini sering kali timbul dari sitilah-sitilah tekhnis yang dipakai dalam dunia sosial untuk mengidentifikasikan perilaku seksual mereka. Istilah kelainan seksual, perilaku seksual yang menyimpang, perilaku seksual yang tidak normal, dll. secara tidak langsung telah mengeliminasi mereka dari dunia kehidupan seksualnya. Seolah-olah ada ungkapan lain yang seharusnya dialamatkan kepada mereka dengan lebih keras, kamu “tidak boleh” hidup sebagai LGBT.

Keempat. Diskriminasi ekonomi. Gambaran keempat bentuk diskriminasi lainnya sangat jelas akan mengarah kepada kesulitan ekonomi bagi kaum LGBT, akibat tereliminasi dari dunia kerja. Karena itu tidak jarang kelompok ini mencari pendapatan ekonomi dengan bidang pekerjaan yang di atasnya tidak memiliki otoritas lain, selain oleh sesama mereka sendiri. Mereka lebih banyak membangun bisnis salon, tata rias, tata panggung, dan sebagai pemandu acara, dll. Dengan demikian jelas bahwa nasip hidup mereka sangat ditentukan oleh kemurahan hati orang-orang untuk memakai jasa usaha ini.

Dan kelima. Diskriminasi budaya. Hal yang kiranya membingkai semua bentuk diskriminasi lainnya ialah pengaruh konsep yang tertanam kuat dalam budaya. Budaya dalam pengertian ini ialah kebiasaan yang sukar diubah. Misalnya, konsep budaya yang mewarisi keyakinan bahwa hubungan seksual hanya terjadi antara laki-laki dan perempuan dan dengan sendiriya di luar dari hubungan itu adalah “kaos”. Juga termasuk konstruksi budaya mengenai format gender yang selaras dengan jenis seksnya. Oleh karena itu, kehadiran LGBT di dalam budaya ini tentu dianggap sebagai musibah, penyakit, dan harus dijauhkan dari kehidupan masyarakat.

Deskripsi lima bentuk diskriminasi ini bisa dikatakan sebagai bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan. LGBT adalah manusia yang hak-hak privatnya harus dihargai, dilindungi, da diakui oleh Negara dan masyarakat. Perjuangan menuntut kesetaraan gender bagi kaum perempuan harus serentak pula dengan tuntutan untuk kesetaraan gender kaum LGBT. Keberadaan mereka nyata dan hidup sebagaimana kita menuntut agar hak-hak kita dipenuhi, diakui, dan dihargai.

Signifikansi Pemahaman Seksual

Sebagaimana sudah disinggung pada awal dan sebagai penegasan akhir, salah satu alternatif solusi masalah diskriminasi LGBT di Indonesia ialah membangun pemahaman seksual sejak usia dini. Pendidikan seksual, termasuk pengenalan kepada anak akan identitas seksual yang lain, adalah hal urgen yang mesti direspons secara positif. Pemerintah, sekolah, lingkungan sosial (keluarga), dan orangtua mesti menjadi pionir untuk mengarahkan anak pada pemahaman seksual yang seimbang dan tepat.

Pemerintah pusat atau daerah sepatutnya menciptakan kebijakan-kebijakan yang tidak melanggengkan perilaku diskriminatif terhadap kaum LGBT di dalam masyarakat. Sudah saatnya kita mengakui dan hidup berdampingan dengan mereka agar hak-hak mereka sebagai warga Negara dapat terpenuhi. Bagi pendidikan usia dini, mesti juga diberikan hak dan ruang bagi LGBT untuk menjadi pengajar di sekolah-sekolah.

Lingkungan sosial (keluarga) dan guru di sekolah berperan penting sebagai orangtua yang memberi edukasi dan pemahaman seksual kepada anak. Anak harus dibimbing sejak usia dini untuk mengenal kaum LGBT bukan saja pada gambaran fisik dan sifat-sifatnya, tetapi juga harus lebih jauh mengajak mereka agar mampu memandang kaum LGBT sebagai sesama yang hidup dan memiliki hak yang sama. Anak harus diarahkan pada nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi dan luhur.

Selain membangun pemahaman kepada anak sejak usia dini, semua elemen dalam hidup bermasyarakat seperti yang disebutkan di atas mesti juga memiliki satu pemahaman. Kita mesti mengamalkan dalam kehidupan nyata sikap penghargaan dan penerimaan terhadap kaum LGBT. Dengan demikian, niscaya kaum LGBT akan merasa diterima sebagai sesama dan tidak lagi didiskriminasi.


 

Komentar

Postingan Populer