Teologi Pembebasan Di Flores: Di Manakah Saudaramu?

9 KAIN DAN HABEL ideas
pinterest

 

Sudah  berabad lamanya Gereja berkarya di NTT. Tetapi sejauh mana peran gereja dalam memajukan masyarakat untuk memberantas kemiskinan? Gereja dalam pengertian ini ialah selain secara sosiologis sebagai sebuah institusi, tetapi lebih kepada Gereja sebagai komunitas religius dan hierarkis.  Sudah sejauh mana Gereja merealisasikan misi pembebasan bagi realitas kemiskinan, ketertinggalan, penindasan, dan berbagai soal kepincangan kehidupan ekonomi-sosial-politik masyarakat di NTT? Adakah kehadiran Gereja itu untuk ‘membebaskan’? Atau malah memberi beban bagi Masyarakat?

Baca Juga: Penciptaan: Kitab Suci Versus Teori Evolusi 

Kehadiran Gereja, perihal  keterlibatan praksisnya dalam pembangunan masyarakat sepanjang sejarah memang selalu menuai pro-kontra. Ada yang menghendaki keterlibatan praksis Gereja secara konkret dalam situasi yang dialami  masyarkat. Dan ada juga yang menolak bahwa bukan tugas Gereja untuk  terlibat secara konkret baik secara  sosial, ekonomi atau politik. Dengan demikian Gereja hanya terlibat sejauh berkaitan dengan perjuangan harkat martabat manusia serta hak-hak asasi manusia. Atau dengan kata lain, Gereja hanya terlibat sejauh berkaitan dengan pembangunan moralitas kemanusiaan.

Dokumen Sinode Para Uskup Tahun 1971 Iustitia In Mundo mengatakan bahwa Gereja bertugas untuk menjadi saksi bagi dunia dan ini harus tampak dalam institusi-institusi Gerejawi dan kaum Kristiani sendiri. Namun, Sinode ini pun memberi batasan  bahwa upaya untuk pencarian solusi konkret secara sosial, ekonomi, atau politik untuk terciptanya keadilan di dunia ini bukanlah tugas Gereja. Jadi dihadapan realitas kemiskinan, Gereja hanya hadir sebagai instrumen  penghibur dan menguatkan orang-orang miskin dan tertinndas agar mereka kuat dan tabah dalam situasi itu. Sembari gereja memberikan harapan kebahagiaan eskatologis setelah penderitaan di dunia ini. Apakah hanya sebatas inilah tanggung jawab Gereja di dunia ini?

Baca Juga: Mengapa Bunuh Diri?

Sebuah sinar harapan baru kemudia lahir dalam surat apostolik Paus  Paulus VI yang berjudul, Evangelii Nuntiandi. Pewartaan Injil tidaklah lengkap apa bila tidakmengungkapkan hubungan yang bersifat langsung antara Injil dengan kehidupan manusia secara konkret, baik personal maupun secara sosial. Hal ini menuntut implikasi nyata dari tugas Gereja. Dan Gereja  mesti sadar bahwa keselamatan yang dikerjakan Allah di tengah realitas ketertindasan kaum Israel  di Mesir itu adalah bentuk keterlibatan yang paling nyata dan konkret.  

Kehidupan dalam banyak bidang baik ekonomi-sosial-politik di Nusa Tenggara Timur (NTT) hingga dunia abad ke-21 ini masih jauh dari kata sejahtera. Masih begitu banyak kehidupan masyarakat yang kalut dalam realitas kemiskinan. Baik akibat derita ketidakadilan ekonomi, sosial dan politik, dan juga derita keterbatasan sumber daya manusia. Inilah realistas wajah muram NTT yang perlu disibak, dan menuntut peran praktis Gereja.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTT, Darwis Sitorus  dalam Jumpa Pers Rilis Perkembangan Kemiskinan di NTT melaporkan bahwa; persentase penduduk miskin di NTT pada September 2020 meningkat dari 0,31 persen menjadi 21,21 persen dibandingkan Maret 2020. Dan dibandingan dengan kondisi September 2019 persentasi penduduk miskin di NTT naik sebesar 0,59 persen (BPS Provinsi NTT, 15 Februari 2021).

Ada apa dengan kemiskinan? Mengapa derita yang sama sejak jaman nenek moyang kita, pada masa berburu dan meramu makanan masih tidak bisa kita bayar pada mazab yang sudah luar biasa majunya ini? Catatan  data statistik rangking kemiskinan ini menjadi keprihatinan yang paling fundamental karena mencakup banyak aspek yang menjadi titik soalnya. Hal-hal itu dilaporkan antara lain. Daerah miskin pada umumnya juga merupakan daerah dengan tingkat pendidikan rendah, akses terhadap air bersih sulit, dan akses terhadap fasilitas kesehatan rendah. Masalah-masalah kesehatan seperti gizi buruk pada anak-anak juga lebih banyak terdapat di daerah miskin (BPS Provinsi NTT 2020). Penderitaan atas situasi kemiskinan ini seakan menjadi stigma bagi eksistensi NTT.

Berkaca pada realitas yang ada, saya mencoba menempatkan keprihatinan saya dalam perjuangan Teologi Pembebasan. Pada poin ini saya mempertanyakan eksistensi Gere di NTT. 

Di Manakah Saudaramu? Suatu Upaya Pembebasan.

Pertanyaan di atas adalah refleksi teologis yang sudah tidak asing bagi Gereja universal, juga secara partikular terhadap posisi Gereja di NTT. Di manakah saudaramu? Pertanyaan ini saya ambil secara metaforis dari kisah Kain dan Habel dalam Kitab Perjanjian Lama. Ketika Habel mati dibunuh oleh Kain, Firman Tuhan datang kepada Kain. “Di mana Habel, adikmu itu?”

Pertanyaan ini sejatinya mengandung suatu tanggung jawab sosial yang besar. Bagaimana saya terlibat secara nyata untuk menyelesaikan masalah-masalah ‘yang kurang’ di dunia sekitar saya? Pertanyaan eksistensial ini yang kemudian menjadi bahan refleksi bagi Gereja- Gereja di NTT. Bagaimana praksis nyata Gereja dalam menyelesaikan masalah kemiskinan di NTT? Dan praksis Gereja ini sangat diharapkan masuk sampai pada taraf ‘pembebasan’.

Gustavo Gutiérrez, adalah seorang tokoh penting jika Gereja hendak berbicara tentang ‘pembebasan’ terhadap realitas kemiskinan dan ketidakadilan dalam kehidupan ekonomi, sosial dan politik. “Teologi Pembebasan” adalah salah satu karyanya yang termasyur dan menjadi pedoman bagi para aktifis dan pemerhati sosial lainnya di dunia. Namun, Gutiérrez dan teologi pembebasan pada dasarnya lahir dari keprihatinan Gereja terhadap realitas kemiskinan. Gutiérrez, mau memperjuangkan keterlibatan praktis Gereja dalam memberantas kemiskinan. Gereja yang terlibat secara nyata.

Teologi Pembebasan adalah teologi khas Amerika Latin sebagai gerakan iman yang radikal (gerakan akar rumput) yang dihidupi oleh kelompok-kelompok gerejawi sebagai reaksi atas situasi kemiskinan dan pemiskinan dan menuntut adanya pembebasan dari situasi itu. (Mateus Mali. Gutierréz Dan Teologi Pembebasan, Jurnal Orientasi Baru, Volume 25, Nomor 01, April 2016). Salah satu indikator gerakan ini ialah menuntut adanya perubahan konsep teologis. Teologi pembebasan membongkar kemapanan teologi klasik, yang hanya melulu refleksi iman dalam relasi dengan yang transenden. Bagi Gutiérrez, refleksi iman tidak melulu melihat iman yang transenden saja, tetapi harus menuntut iman yang praksis

Posisi misi Gereja di Flores bila dibaca dalam kaca pandang teologi pembebasan tentu masih sangat relevan. Kemiskinan dan ketidakadilan dalam kehidupan ekonomi-sosial-politik di Flores yang sudah berabad lamanya ini tentu mesti menjadi medan teologi pembebasan oleh Gereja. Gereja mesti terlibat, mencari dan menemukan, memberi makan, merawat, menyediakan tempat tinggal,  bagi saudara-saudara yang ‘kehilangan’. Membebaskan belenggu kemiskinan dan ketertindasan secara ekonomi, sosial dan politik bagi masyarakat Flores.

Terdapat beberapa pokok pikiran berkaitan dengan upaya teologi pembebasan bagi Gereja di Flores untuk menjawab soal kemiskinan dan ketidakadilan dalam kehidupan ekonomi-sosial-politik. Di manakah saudaramu?

Pertama. Di manakah saudaramu adalah suatu tuntutan praksis untuk segera berbuat. Mencari. Pergi. Gereja mesti mampu ada bersama orang-orang miskin. Pergi menjumpai mereka yang bahkan tidak mampu memberi lima ratus rupiah pun sebagai derma. Pergilah kepada mereka yang bahkan tidak berani untuk meminta mengadakan perayaan pemakaman atau berbagai bentuk syukuran iman lainnya. Gereja mesti ingat, bahwa antara Kristus dan kemiskinan terdapat hubungan yang sangat mendalam.

Kedua. Keterlibatan Gereja di Flores mesti mampu menyebrangi batas pewartaan di atas mimbar. Turun dari altar dan pergi berjuang bersama orang-orang miskin dan beri mereka makan. Gereja mesti mampu membawa masyarakat ke dalam transformasi sosial. Kehadiran Gereja mesti berubah dari pola misi lama. Pola misi yang berorientasi untuk memasukan sebanyak mungkin  orang ke dalam Gereja melalui Sakramen-Sakramen mesti diubah. Gereja mesti pertama-tama hadir untuk memperjuangkan kemanusiaan. Memanusiakan manusia. Gereja mestinya tidak lagi hadir untuk menjadikan orang beragama.

Ketiga. Teologi pembebasan mesti mendapat tanggapan positif bagi eksistensi Gereja di Flores. Kehadiran Gereja yang jaya dalam pembangunan terhadap seluruh lingkup hidup masyarakat di masa lalu, mesti dihidupkan kembali. Kita tentu bersyukur bahwa sejarah kemajuan peradaban manusia di Flores adalah bagian dari misi Gereja yang paling sukses dalam upaya pembebasan (Baca: Frans Cornelissen. Lima Puluh Tahun Pendidikan Imam di Flores, Timor, dan Bali. Ende: Percetakan Arnoldus Nusa Indah, 1978). Sungguh miris bila masyarakat (umat) hingga saat ini, hanya mengangguk bangga pada nostalgia misi pembebasan Gereja di masa lalu dan lebih banyak mengerut dahi pada praktik hidup Gereja kini.

Baca Juga: Agama Musuh Terbesar Pancasila: Benrakah?

Keempat. Kemiskinan dan ketertindasan masyarakat Flores kini mesti dibaca Gereja dengan jeli melalui pendekatan ekonomi politik (ekopol). Gereja harus berani menggali dan menemukan sebab-sebab fundamentalnya dan membongkar bebaskan segala struktur ekonomi dan politik yang membelenggu kehidupan masyarakat Flores. Di samping itu Gereja juga secara ke dalam mesti berefleksi, prihal praktik-praktik yang mengatasnamakan misi dan iman, yang secara tidak langsung menindas masyarakat.

Dengan demikian, Kain yang hilang dibunuh oleh ketidakadilan strukrut sosial, ekonomi, dan politik perlu kita tolong. Mencari dan membebaskannya, agar kita bisa kembali dan menjawab Tuhan. Inilah saudaraku. Merdeka dan bebas dari kemiskinan.



 

Komentar

Postingan Populer