PUTRI SAMBA
Ilustrasi: Taufani Alit - Viral.id |
Penulis: Edy Soge
Aku tahu dunia ini menyimpan kekaguman penuh romansa ketika bibirmu yang embun menuturkan namamu yang anggun. Aku pernah mengetahui nama semacam itu tetapi aku baru dengar dari bibirmu yang meneteskan bening perjumpaan suatu senja.
Di bawah cemara samping kapela yang catnya telah luruh dan warna atap milik masa lalu kita ditakdirkan berjumpa. Cemara muram mata kita memudar. Kubidikkan kedip kagum ke arahmu sampai tegur sapa kita layangkan secara santun. Engkau hadir bersama seorang yang aku kenal baik dan akrab aku baca sebagai teman. Karena itu tidak sulit bagiku untuk mendekatimu. Aku katakan siapa diriku. Dan aku rindu mengetahui siapa dirimu. Aku taburkan tanya perjumpaan di ladang basah hatimu yang mungkin terusik karena aku berada bersama dengan segala yang apa adanya.
“Saya Auciliana Costa. Saya berasal dari Brazil ,” katamu sambil menyodorkan tangan yang menyimpan jejak jemariku.
.“Oh, dari Brazil?” kataku dengan ekspresi kagum yang aku yakini sebagai debur pertama dari riak jiwaku.
Baca: Aku Melihat Ibuku Dalam Matamu
Bibir senja mengecup pucuk cemara dan bibir atap gereja. Bibir kita pun melepas sapa kembali. Aku lebih dulu berbalik lalu berlalu dengan langkah yang tidak biasa dan tak rela. Sepertinya aku tak mau senja kembali ke balik dan begitu rela kita saling berbagi kata sampai malam tiba dan purnama merestui kita menjadi sahabat.
“Frater, selamat ya,” katamu syahdu ketika kakiku telah meninggalkan halaman gereja.
Entah kenapa engkau menyapa aku demikian. Barangkali seorang di sampingmu yang menyuruhmu berkata demikian. Aku tak membalas hanya senyum simpul sebagai tanda yang akan membuktikan bahwa kita akan menjadi teman atau sahabat. Aku benar-benar merasakan ‘keanehan’ yang manis yang berujung pada rasa saling percaya.
Aku
tiba di rumah dengan semerbak kegembiraan.
Aku panjatkan nyanyian cinta, merdu dan memiliki. Aku juga berdoa agar kita bertemu lagi dan
terus bertemu sampai waktu mengizinkanmu kembali. Aku kemudian memilih beranda untuk menikmati
malam. Di tanganku sajak Sapardi
berbicara merdu sekali. Tiba-tiba hp-ku tersenyum genit sebab pesan
singkat itu mengganggu tidurnya. “Mat mlm sdra, makasi
ya. Dia brtanya ttgmu.
Dia mau bertmu kmu,” aku lafal itu dalam nada ‘aku ingin mencintaimu dengan
sederhana’. Aku bahagia sekali doaku
terkabul. Tuhan mau cinta-Nya
dibagikan. Aku habiskan malam di antara
sajak-sajak cinta dan teduhnya kelopak mawar merah.
Kita bertemu untuk yang kedua kalinya di dalam gereja. Kita persiapkan dekorasi untuk perarakan patung besok. Kita rangkai bunga buat Bunda Fatima. Aku mendekatimu mencari kebenaran pesan singkat itu. Kau beri ruang dan aku tahu pasti ada kebenaran tentang ini semua. Kau sangat ramah dan bersahabat. Kau baik, terlalu baik. Kita akrab. Semoga bunga yang kita rangkai ini menjadi doa. Kau menggenggam penuh kasih kelopaknya dan aku mengikatnya dengan benang wol. Semoga seutas ini mampu menjerat hatimu, harapku yang begitu tersembunyi. Aku ciptakan sehimpun lelucon untuk mencari tahu tawa dan senyummu. Tetapi aku hanya mau kau betah dengan liburanmu. Kau baru satu tahun di Indonesia. Semoga engkau mencintai negeriku dan pesonanya.
“Frater lucu sekali,” katamu sambil titipkan tawa; ”Aku suka.” Aku semakin tak kuasa berbicara. Kini tinggalah sehelai tanganku yang menggenggam bibir tebing cinta. Jangan-jangan aku bisa jatuh cinta. Malam itu cahaya matamu aku lihat redup-redup. Aku akan berusaha untuk tahu bahwa dia akan menjadi terang benderang.
Kita lewatkan hari-hari liburan dengan perjumppan dari yang sederhana sampai yang memberi pesan untuk hidup. Aku mendampingimu ke sekolah-sekolah di kampungku, tempat engkau diutus (berlibur). Kita berjumpa dengan begitu banyak anak-anak misioner sobat Yesus dan mereka yang sudah mengerti tentang pilihan hidup. Kau bercerita banyak tentang dirimu, keluargamu, suku bangsamu, dan yang terpenting pilihan hidup yang tengah engkau tapaki. Tidak hanya itu motivasi panggilan juga kau kisahkan dan kongregasi yang kau pilih sebagai tepat untuk menjadi layak di hadapan Tuhan. Engkau menamai dirimu segagai hamba Maria. Biaramu kau sebut bernama SMG dan kau akan ke Ruteng supaya dibentuk lagi. Aku masih ingat apa yang engkau katakan, satu hal yang membuat aku sangat bahagia dan akan terus bahagia yaitu bekerja untuk Tuhan. Semoga kau benar-benar bahagia.
Baca: Ayah
Hari sudah sore. Engkau datang mengunjungi aku di rumah. Aku menerima dengan riak senyum dan hati yang gembira. Kita duduk-duduk di beranda habiskan sore dengan membagi kisah kasih tentang hidup dalam kesunyian sebagai orang yang dipanggil Tuhan. Aku pikir itu mesti dikisahkan supaya kita berdiri lebih kokoh lagi. Tetapi aku harus cari jalan supaya ombak yang berdesir dalam dadaku bisa membasahi pantai hatimu. Aku berani mencoba mengatakan semua itu.
“Auciala, aku mencintaimu. Tetapi bukan karena kamu cantik, orang Brazil tetapi karena aurora yang terpancar dari busanamu dan cara hidupmu. Semoga cinta persahabatan ini memampukan kamu menjawabi pilihanmu.”
Tiba-tiba siang redup, daunan mawar luruh dan kelopaknya diterbangkan angin. Engkau luruhkan air mata sebab aku jujur menyanyikan nyanyian jiwa.
“Aku juga mencintaimu,” katamu meski putik matamu terus jatuh. ”Dan dalam doa aku selalu mengingat kamu.” Kau usapkan sampai laut benar-benar tenang dan senja tidur manis di atasnya. Semua sudah terkatakan. Aku bahagia dan mungkin kamu juga bahagia.
Tidak hanya di beranda itu tapi senja di pantai pun kita alami sebelum engkau benar-benar kembali. Besok engkau kembali dan hanya secarik kenangan yang kau tinggalkan untukku. Aku membacanya dalam irama sajak. Aku begitu terkesan dengan apa yang tertulis pada sisi kanan bawah, obrigado, amo vose’. Lalu aku menunduk tenang sambil mendengarkan sunyi mendendangkan sajak Ayatrohaedi berjudul ‘Dari Sebuah Perpisahan’: “dan sekarang kita berpisah/itu pun ada baiknya juga/Agar terasa betapa mesra/jika pada saatnya nanti/Kita ditakdirkan bertemu lagi.”//
Auciliana Costa, putri samba berambut pirang aku mendamba.
Kamar Temaram, 16 Maret 2017
*Edy Soge, lahir di Hewa, 27 Oktober 1996. Belajar menulis sejak di seminari San Dominggo, Hokeng, Larantuka dan sekarang belajar filsafat di STFK Ledalero.
Komentar