MENGELABORASI KONSEP PENCIPTAAN ALAM SEMESTA VERSI KITAB SUCI VERSUS TEORI EVOLUSI
depositphotos.com |
Pendahuluan
Diskursus penciptaan alam semesta yang termasuk didalamnya manusia sendiri selalu menjadi perdebatan yang hangat antara pandangan Kitab Suci versus Teori Evolusi. Hampir semua agama dengan teologinya berusaha menjelaskan dari pemahaman mereka tentang penciptaan sebagaimana yang termuat dalam Kitab Sucinya. Namun perlu dipahami bahwa Kitab Suci agama-agama bukanlah kitab kosmologi atau buku ilmu pengetahuan yang membahas secara sistematis bagaimana proses terjadinya alam semesta.
Sesuai dengan bahasa judul, isi tubuh tulisan ini akan mencoba mengakrabi pandangan penciptaan alam semesta (kosmis) sebagai mana yang dipahami dari dalam Kitab Suci (Greja Katolik) dengan yang dipelajari berdasarkan pandangan dalam Teori Evolusi untuk mencari konspirasi, jalan tengah sebagai dasar pemahaman yang utuh dan satu.
Arti leksikal mengelaborasi menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, dengan kata dasar “elaborasi” berarti penggarapan secara tekun dan cermat (KBBI 2005: 292). Penggarapan, di sini berhubungan dengan suatu proses atau cara untuk melakukan atau mengerjakan sesuatu. Jadi mengelaborasi berarti suatu proses atau secara mengerjakan sesuatu dengan tekun dan cermat. Dalam pengertian ini penulis berusaha melakukan studi perbandingan antara penciptaan alam semesta, kosmos yang diyakini dalam ajaran Kita Suci dengan Teori evolusi oleh ilmu pengetahuan.
Penciptaan, yaitu; proses, cara, atau perbuatan menciptakan (KBBI 2005: 215). Penciptaan dengan akar kata cipta berarti kemampuan pikiran untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Dengan kata lain Konsep Penciptaan berarti gambaran atau gagasan mengenai keteraturan yang secara lebih khusus di sini soal keteraturan alam semesta atau kosmis. Bagaimana alam semesta diciptakan dan ada.
Alam mencakup segala yang ada di langit dan di bumi. Semesta berarti seluruh, segenap, semuanya (KBBI 2005: 22, 25). Jadi alam semesta mencakup seluruh yang ada di langit dan di bumi atau seluruh alam (universal) termasuk manusia, benda-benda mati dan makhluk hidup lainnya.
Penciptaan Alam Semesta Versi Akitab (Kitab Suci Kristen).
Orang Kristen sejak ribuan tahun lalu meyakini bahwa alam semesta (kosmos) diciptakan oleh Allah sebagaimana tertulis dalam Kitab Kejadian. Kejadian Bab 1: dikisahkan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi beserta segala isinya dan pada Bab 2: Allah menciptakan manusia secara lebih jelas perihal bagaimana manusia itu dibentuk berkaitan dengan esensi, ketimbang Kejadian 1: 26-27 yang lebih menyoroti soal eksistensi manusia. Penciptaan oleh Allah memang sungguh berbeda dan tidak bisa dibayangkan oleh manusia perihal bagaimana Allah pada mulanya membentuk alam semesta ini. Manusia hanya bisa mengenal bahwa Allah “menciptakan” dari kata kerja menciptakan itu sendiri dengan kuat kuasa Sabda-Nya.
Manusia dalam terang akal budi tidak bisa mengetahui secara pasti bagaimana kosmos ini bergerak dan akhirnya dibentuk, sebab Allah menciptakan kosmos dari ketiadaan creatio ex nihilo. Namun pandangan ini seringkali menimbulkan polemik teologi dihadapan ilmu pengetahuan yang kritis. Dalam Kitab Suci teristimewa Kejadian 1 tidak secara pasti dikatakan penciptaan secara ex nihilo, juga ditegaskan Walter Brueggemann (2009, 242) menulis, “orang yang memepelajari tema penciptaan dalam perjanjian lama niscaya mesti menghadapi persoalan apakah perjanjian lama mengklaim penciptaan secara ex nihilo: Apakah Allah menciptakan dari ketiadaan? Sungguh benar dan konvensional untuk mengatakan tidak ada bukti pasti untuk klaim demikian. Dalam Kejadian 1:1-2 memungkinkan namun tidak menuntut penafsiran demikian.
Yang menjadi pertanyaan baru di sini jika bukan ex nihilo atau jika Allah tidak menciptakan dari ketiadaan berarti pertama, ada causa materialis yang menjadi muatan dasar aktivitas mencipta oleh Allah. Boleh jadi bahwa Allah menciptakan terlebih dahulu unsur-unsur pembentuknya khaos dan kemudian membentuknya menjadi teratur. Kemungkinan kedua, bahwa causa material sudah ada sebagai mana ia ada sebagai yang terberi, ada begitu saja namun dalam keadaan khaos, tidak berbentuk. Allah sebagai Pencipta membentuk dan mengaturnya seturut citra penciptaan-Nya sendiri.
“Dan jika bukan ex nihilo maka kita terpaksa mesti menyimpulkan...Yahweh (Allah Pencipta)...membentuk...sebuah dunia ciptaan (alam semesta) dari “bahan khaos” yang sudah ada sebelumnya” (Walter Brueggemann, 2009: 242). Namun perlu ditegaskan bahwa yang “sudah ada” itu sama sekali tidak beraturan atau berbentuk seperti sebagaimana gambarannya setelah diciptakan ex post facto. Allah tidak mengimitasi dari sesuatu yang sudah ada tetapi menjadikannya baru dalam keteraturan.
Yang menjadi catatan dan sekaligus sorotan dalam Kitab Suci ajaran Kristen bukan soal bagaimana proses Allah nenjadikan kosmos tetapi inti yang mau ditonjolkan ialah bahwa kosmos sesungguhnya diciptakan oleh Allah dengan kuasanya sendiri. Berikut peristiwa-peristiwa besar dalam penciptaan kosmos oleh Allah: Allah menciptakan terang dan gelap (kej.1:3-5), Allah menciptakan cakrawala-langit (kej1:6-8.), Allah menciptakan darat dan laut (kej.1:9-10), Allah menciptakan matahari dan bulan- penentu waktu (kej.1:14-18), dan Allah menciptakan manusia (kej.2:7). Kitab Suci hanya menulis bahwa kosmos diciptakan dan dibentuk oleh Allah dengan kekuatan Sabda-Nya “Jadilah” dan semuanya terjadi, dan “Allah melihat bahwa semuanya itu baik”.
Sedikit berbeda dengan cara Allah menciptakan langit dan bumi kosmis, manusia dan segala binatang dan segala burung diciptakan dari unsur yang sudah ada. Kitab Suci, dalam Kitab kejadian (Kej. 2: 6-7,21-22). khususnya menerangkan: “...tetapi ada kabut naik ke atas dari bumi dan membasahi seluruh permukaan bumi itu - ketika itulah Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya...Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya...Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan.
Manusia diciptakan tidak dari yang nihil, ini digambarkan secara jelas dalam Kitab Suci. Manusia diciptakan dari “debu tanah” dan seorang manusia lain yaitu perempuan Allah menciptakannya dengan mengambil salah satu “rusuk” manusia pertama yaitu laki-laki. Ini sungguh merupakan sebuah peristiwa iman yang tidak bisa dijelaskan dengan kadar ilmiah yang masuk akal dan teruji. Manusia diciptakan Allah sesudah kosmos terbentuk sebagai puncak dari semua ciptaan, di sini meskipun proses penciptaan itu barangkali tidak dimengerti secara ilmiah namun sudah ada causal metrialisi yang bisa menjadi rujukan ilmiah untuk mempertanggungjawabkan iman.
Teori Evolusi
Dalam teori evolusi yang menjadi inti persoalan ialah mengenai proses perubahan atau terjadinya alam semesta. Berikut perihal evolusi Kosmos atau terjadinya Bumi: Teori Big Bang, dikembangkan oleh Stephen W. Hawking, dalam bukunya A Brief History Of Time: From the Big Bang to Black Holes, terbitan 1988. Menurut teori ini lahirnya bumi berasal dari suatu ledakan besar oleh materi padat dengan tenaga yang dahsyat sehingga gumpalan-gumpalan gas dan debu menjauh dengan kecepatan tinggi. Dari sinilah dikatakan sebagai permulaan dunia dan mulailah waktu (Frans Dahler, 2015: 31).
Jadi teori ini berasumsi bahwa sebelum Big Bang semua materi dalam sisitem tata surya dan semua benda di angkasa itu semualanya bersatu. Sebagaimana diuraikan Dahler pada waktu itu bumi yang terbentuk sama-sama dengan matahari dan planet-planetnya, mulanya sangat panas dan tidak punya atmosfer. Kemudian bumi mulai mendingin, atom-atom, molekul-molekul bergabung dan membentuk materi baru sehingga terjadi unsur-unsur mulai dari hidrogen sampai uranium. Terbentuknya macam-macam batuan, air dari penggabungan antara hidrogen dan oksigen, mulai terbentuk pula atmosfer dan kemudian melalui beberapa proses lagi hingga terbukalah jalan bagi kehidupan kita (biosfer). Semua proses evolusi ini terjadi secara alamiah beribu-ribu tahun lamanya hingga sampai kepada tahap di mana terbentuknya bumi.
Selain evolusi kosmos ilmu pengetahuan juga menguraikan evolusi manusia yang dipelopori Carles Darwin (1809-1882) pada tahun 1859 dalam karyanya yang kemudian gencar dibicarakan: The origin of species (Joseph V. Kopp, 1983: 11). Penyelidikan evolusi manusia patut dilakukan secara hati-hati oleh para ilmuwan. Mereka harus mencari bukti-bukti penopang yang kuat dan masuk akal agar bisa diterima secara ilmiah. Darwin, atau pun semua penggagas ilmu teori evolusi memulai tesis mereka dengan dasar peneliatian atas temuan fosil-fosil purba yang menyerupai manusia.
Tahun 1856, Darwin menemukan fosil pertama di lembah Neandertal di Jerman, oleh karena itu disebut manusia Neanddertal. Fosil ini diperkirakan hidup antara 220.000 tahun sampai 27.000 tahun yang lalu dengan tinggi mencapai 160 cm (Frans Dahler, 2015: 6). Penemuan Darwin ini banyak diragukan oleh para ilmuwan lain yang juga membentengi agama untuk menolak teori Darwin ini. Keraguan akan kebenaran teori Darwin ini kemudia diperkuat oleh antropolog Gustav Schwalbe pada tahun 1901 di Namur- Prancis dan Kroasia.
Gustav berani membuktikan bahwa fosil manusia Naedertal tergolong manusia purba. Penemuan-penemuan fosil manusia purba pada tahun-tahun berikutnya juga turut mendukung teori ini. Perkembangan manusia dalam teori evolusi oleh Frans Dähler dapat digolonglan perkembangannya sebagai berikut: Pithecanthropus erectus, 1891 (kera manusia yang berdiri tegak), Homo soloensis, 1931-1933 (manusia pengerajin) Meganthropus Palaeojavanicus 1939-1941 (manusia raksasa-yang ditemukan di daerah Jawa), Homo sapiens yang ditemukan tahun 1996 (Manusia bijaksana), dan terakhir beriringan dengan penemuan sebelumnya yaitu Homo sapiens (Manusia purba yang menyerupai manusia modern).
Dalam seluruh perkembangan ini yang dikenal dengan teori evolusi mau membuktikan bahwa manusia dan segala yang hidup dalam alam semesta sesungguhnya diturunkan dari forma yang sudah ada sebelumnya yang mengalami kesempurnaan dalam proses evolusi. Evolusi itu bisa berubah sebagai pengaruh lingkungan (mutasi dan seleksi) atau kodrat pertumbuhan dari makhluk hidup itu sendiri. Mutasi berarti adanya perubahan wujud untuk menyesuaikan diri dengan lingkunngan demi bertahan hidup. Sedangkan seleksi, merupakan mampu mengalami perubahan wujud dan menyesuaikan diri itulah yang kemudia bertahan hidup dan mewarisi keturunan.
Jalan Tengah
Sebelum Konsili Vatikan II perkembangan ilmu pengetahuan masih sangat dipengaruhi oleh ajaran Kristen, terutama pada abad ke-18. Semua ilmu pengetahuan tunduk di bawah sayap gereja. Tidak ada yang meragukan bahwa alam semesta, manusia, dan segala makhluk hidup diciptakan oleh Tuhan seperti adanya sekarang tanpa perubahan (evolusi) sebagaimana manusia adalah turunan dari penemuan fosil purba (kera) yang menyerupai manusia.
Pengajuan teori evolusi hingga diterima di dalam gereja ialah perjuangan oleh seorang imam Yesuit sarjana geologi dan paleontologi, Teihard de Chardin (1881-1955). Titik temu antara penciptaan kosmos pandangan Kitab Suci dan teori evolusi terletak pada sebuah pertanyaan refleksi kritis Franz Dähler, “Bagaimana terjadinya hidup?”. Lebih lanjut tandas dia, hidup harus selalu berasal dari sesuatu yang hidup pula. Pernyataan ini mendamaikan teori evolusi Darwinisme yang mengabaikan (pokok spiritual) arah dan akal dalam evolusi dengan teori evolusi modern [Teilhard de Chardin, R. Wesson, Hans Jonas, dkk.] yang lebih menyadari akan adanya causa prima, berkaitan dengan paham Tuhan sebagai sumber transenden evolusi. Penyimpulan ini lahir dari pandangan bahwa faktor utama evolusi adalah perkembangan kesadaran akan konsep “kebetulan”, bahwa faktor mutasi dan seleksi tidak mencukupi dalam proses evolusi. Artinya jauh lebih mendalam, mengarah pada makna tertentu yang tidak bisa dikenal. Dähler, menyimpulkan bahwa peciptaan dan evolusi adalah sama. Kata “penciptaan” lebih menojolkan kreatif dan sumbernya, kata “evolusi” lebih menonjolkan perkembangan berangsur-angsur dari sesuatu yang sederhana menuju struktur yang lebih kompleks. Jadi tidak ada hal yang kontradiksi antara penciptaan versi Kitab Suci dan teori evolusi.
Kesimpulan
Sebagaimana disimpulkan pada bagian akhir pembahasan ini sebenarnya tidak ada kontradiksi antara penciptaan dalam Kitab Suci dan teori evolusi. Evolusi bukanlah suatu proses yang terjadi begitu saja tanpa causa dan daya orientasi. Teilhard adalah sosok yang pemberani dan dengan cerdas menyadari inti dari dinamika evolusi. Manusia dan alam semesta tidak hanya mengalami evolusi karena seleksi dan mutasi, tetapi ada konsentrasi terdalam bagi kecenderungan makhluk dan benda diseluruh alam semesta ini untuk berubah ke arah kesempurnaan. Jadi, ajaran Gereja diterima kedalam teori ini ialah pada pokok persoalan mengenai jiwa yang menghidupi alam semesta. Pertanyaan ini yang kemudian mengarah kepada yang transenden yakni Allah sebagai creatio superna dan evolusi alam semesta sebagai summa cum laude kepada Allah Pencipta.
Evolusi menjelaskan segi biologis dari kosmis yang dapat diukur, diteliti, dan diperiksa sedangkan penciptaan oleh Allah perihal sesuatu yang dianggap oleh ilmu pengetahuan sebagai “kebetulan”. Kebetulan di sini sebenarnya ialah keengganan para ilmuwan evolusi awal yang tidak berani mengakui adanya Tuhan dalam proses evolusi sebagai pencipta [proses evolusi yang sebabnya belum diketahui] causa prima. Perkembangan filsafat abad modern mulai mengarahkan pemahaman akan adanya Allah sebagai sebab pertama yang tidak disebabkan oleh sebab lain, tetapi punya arti dalam dirinya sendiri. Gagasan ini sedikit membuka wawasan untuk menyertakan Allah dalam pemahaman ilmu pengetahuan mengenai teori evolusi. Dengan kebuntutan ilmu pengetahuan ini maka sebab yang tidak diketahui itu dapat disimpulkan dalam terang iman sebagai Allah creatio ex nihilo.
Ilmu pengetahuan dan agama dapat dikaitkan sebagaimana dalam diri manusia sendiri adanya akal budi dan iman, masing-masing bisa otonom tetapi tidak bisa dipisahkan begitu saja. Ilmu pengetahuan membantu mempertegas penegetahuan dalam agama dan agama menolong keterbatasan ilmu pengetahuan untuk menerangkannya dalam terang iman. Jadi, sejauh mana pun perkembangan ilmu pengetahuan dengan berbagai teorinya tidak boleh pernah mengabaikan peran agama dalam iman. Keduanya harus saling membuka diri untuk sebuah kemajuan dan perkembangan sebagai bagian dari evolusi mengarah kepada kesempurnaan. Sebab kosmis dan semua yang terkandung didalamnya ialah ciptaan yang belum sempurna atau jadinya yang terus berovolusi.
Komentar