SOAL - SOAL FILSAFAT ABAD PERTENGAHAN
1. Perbedaan konsep Allah dan manusia menurut orang Yunani Klasik dan Kekristenan
· Konsep tentang Allah orang Yunani meliahat Allah sebagai Yang Satu berada di luar segala kategori, seperti dapat kita kenal melalui beberapa tokoh Filsafat Yunani, Heraklitus (Api Ilahi), Plato (Allah seperti Dunia Ide), dan Aristoteles (Allah sebagai Penggerak pertama yang tidak digerakkan). Sedangkan orang Kristen melihat Allah sebagai Pencipta mahakuasa yang secara absolut berbeda dari ciptaan. Allah mencipta dari ketiadaan, ‘creatio ex nihilo’. keyakinan Kristen ini bertolak dari keyakinan orang Yunani yang menekankan kedaulatan Allah.
· Kekristenan juga melihat Allah yang bersifat pribadi. Dan manusia dianggap sebagai individu dan individualitasnya bergantung pada esensi Allah sebagai pribadi. Karena manusia diciptakan menurut citra Allah, maka manusia pun menupakan makhluk yang berpribadi. Orang Yunani menganggap jiwa manusia sebagai pantulan dari jiwa universal sehingga tidak ada perbedaan mendasar antara Allah dan manusia dalam filsafat Yunani.
· Perbedaan berikut terletak pada konsep Kekristenan tentang Allah sebagai penyelamat. Kristen: manusia adalah makhluk berdosa karena itu tidk dapat menyelamatkan diri, karena itu manusia membutuhkan Allah untuk diselamatkan. Yunani: menekankan keutamaan demi kebahagiaan. Keutamaan ini mengandalkan kemampuan dan kesanggupan manusia sendiri, karena itu manusia harus menyelamatkan dirinya sendiri.
2. Mengapa kaum Apologet dikatakan berperan dalam memperkenalkan Filsfat kepada kekristenan.
Apologetika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mengajar orang Kristen bagaimana memberi pertanggungjawaban tentang pengharapannya. Apologet merupakan bagian dari teologi Kristen. Berikut alasan apologet berperan dalam memperkenalkan filsafat kepada kekristenan:
a) Kaum apologet meberi pembuktian: menyampaikan dasar rasional bagi iman kepercayaan atau “membuktikan kebenaran kekristenan”.
b) Kaum apologet sebagai pembela:menyampaikan keberatan-keberatan dari ketidakpercayaan. Pembelaan dan penegasan atas kebenaran Injil.
c) Kaum apologet sebagai penyerang: menyerang kebodohan dari pikiran orang2 yang tidak percaya.
Dari poin-poin ini maka kita melihat bagaimana kaum apologet memasukan pikiran-pikiran filosofis untuk pembelaan iman Kristen hingga sampai sekarang kita mengenal Filsafat sebagai ancila teologi.
3. Tiga jenis kejahatan menurut Agustinus.
ü Agustinus menolak pandangan Plato bahwa penyebab kejahatan adalah ketidaktahuan (ignoransia), atau hasil karya kegelapan.
ü Agustinus menekankan bahwa kejahatan atau dosa adalah hasil dari kehendak. Sesua dengan prinsip bahwa segala sesuatu yang ada baik, Agustinus mendefinisikan keburukan atau kejahatan (malum) sebagai privatio boni ‘ketiadaan kebaikan’.
ü Agustinus membedakan tiga jenis keburukan:
1. Malum physicum: keburukan yang datang dari alam, seperti penyakit, penderitaan, atau becana alam sebagai akibat dari kesalahan manusia yang merusak tatanan alam, sehingga alam yang diciptkan secara baik menjadi sumber penderitaan.
2. Malum morale:kebuyrukan yang disebabkan oleh pelanggaran mansuia. Adanya keburukan ini bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah makhluk bebas dan bekesadaran. Manusia menarik diri dari keterarahannya kepada Allah. Manusia melupakan Tuhan dan sesama.
3. Malum metaphysicum, kejahatan ayng diakibatkan oleh kekurangan metafisis. Dari perspektif metafisika tidak ada keburukan total dalam kosmos, hanya ada keburukan relatif. Keburukan yang bergantung pada sesuatu yang ada. Ada ADA yang paling sempurna yaitu Allah. Dari ADA yang sempurna mengalir ada ke entitas lainnya yang kurang sempurna, maka mansia sebagai ciptaan bersifat tidak sempurna. Kesempurnaan Allah terfletak pada kekalannya. Perbedaan mendasar antara manusia dan Allah sebagai pencipta ialah bahwa manusia dapat mati. Jadi, inilah malum metaphysicum, kekurangan yang ada pada sesuatu karena kekurangan derajat keberadaan, seperti kenyataan bahwa manusia bersifat fana. Manusia mati bukan karena keburukan fisik atau moral melainkan hakekatnya sebagai ciptaan yang tidak harus ada dan karena itu juga ti dak harus tetap ada.
4. Apa yang dilakukan Boitius terhadap perkembangan Filsafat.
Dengan kepandaiannya menguasai bahasa Yunani dan Latin dia menerjemahkan karya-karya Plato dan Aristoteles. Beberapa kontribusi Boitius terhadap perkembangan Filsafat:
a. Boitius merupakan seorang penyalur, lewatnya ide-ide filosofis diteruskan ke abad pertengahan.
b. Dia menciptakan banyak istilah tekhnis dalam bahasa Latin, yang kemudian menjadi sumber utama istilah tekhnis pada zaman skolastika.
c. Dia mempersoalkan keadilan dan kebebasan sebagai alasan mengapa dia dihukum.
d. Dia meneruskan dan mempraktikkan ajaran Plato bahwa orang bijaksana harus menjadi pemimpin dalam negara.
Melanjutkan ide dari Aristoteles, Boithius membagi filsafat atas dua bagian, yaitufilsafat spekulatis (teoretis) dan filsafat praksis. Filsafat spekulatif dibagi kedalam:
a. Filsafat alam: studi tentang fenomena-fenomena tubuh/fisik degan materinya forma terikat dengan realitas. Karena tubuh bergerak maka forma yang bersatu dengannya juga berada dalam gerakan.
b. Matematika: studi tentang forma-forma fisik, seperti garis dan segitiga tanpa meteri dan gerakan.
c. Teologi, bukan didasarkan pada kitab suci tetapi ide Aristoteles.
Sementara filsafat praksis menyangkut etika (bagaimana individu bertingkah laku secara benar), politik (bagaimana suatu negara harus diperintah sesuai dengan kebijakankebijakan) dan ekonomi.
5. Pembuktian eksistensi Allah menurut Anselmus dari Canterbury
Anselmus dapat dikatakan sebagai skolastikus pertama. Karyanya yang penting sebagai sumbangan besar abad 12 untuk membuktikan eksistensi Allah adalah Monologion dan Proslogion. Baginya orang harus percaya dahulu supaya dapat membedakan pengertian yang benar akan sebuah kebenaran.
Pertama dalam Monologion: eksistensi Allah sebagai prinsip kebaikan yang dari padanya segala sesuatu menjadi baik. Dia tidak membutuhkan yang lain untuk menjadi baik, tetapi menjadi dasar bagi kebaikan yang lain. Dia itu adalah Allah. Pandangan ini berangkat dari pembuktiannya bahwa, pertama setiap manusia pada dasarnya tertarik untuk memiliki hal-hal yang baik. Pada kenyataannya bahwa, ada berbagai hal yang baik dan kebaikan yang banyak itu dapat diterangkan melalui sesuatu yang baik secara mutlak yang mendasari kebaikan yang lain. Kebaikan mutlak itu adalah Allah. Kedua, bahwa manusia mengenal hal-hal yang mulia dari sesuatu yang mulia secara mutlak yang dari padanya segala yang mulia lainnya berpartisipasi. Yang mulia secara mutlak itu adalah Allah. Ketiga, manusia berjumpa dengan ada yang terbatas, yang tidak harus ada sekalipin mereka ada. Adanya ada seperti ini menunjukkan pada ada yang mutlak, yang menjadi sumber bagi ada yang lain. Ada yang mutlak itu adalah Allah.
Kedua, Proslogion: dalam buku kedua ini dia menggunakan aegumen apriori atau onotlogi tentang Allah yang dirancang dalam doa. Doa mengungkapkan keinginan Anselmus untuk memiliki argumen tunggal tentang eksistensi Allah. Dalam doa membuktikan bahwa ada pengertian tentang sesuatu yang tidak bisa diatasi oleh manusia, sesuatu yang melampaui kemampuan manusia untuk menyempurnakan apa yang dipikirkannya. Dan yang melampaui kamampuan manusia itu dikatakan Anselmus sebagai yang transenden yang merupakan batas pemikiran manusia, dialah pengertian tertinggi. Pengertian tertinggi itu adalah Allah. Tidak ada yang lebih besar yang dapat dipikirkan melampaui Allah. Karena itu, mengatakan sesuatu sebagai sebuah pengetian tertinggi, berarti sekaligus mengatakan bahwa pengertian itu ada dalam kenyataan, karena yang tertinggi tidak hanya terdapat dalam pikiran saja. Karena Allah adalah pengertian tertinggi, melebihinya tidak ada sesuatu yang dapat dipikirkan lagi, maka Allah ada dalam kenyataan. Adanya Allah dibuktikan oleh statusnya sebagai pengertian tertinggi, yang tidak dapat dipikirkan sebagai yang tidak ada.
6. Pembuktian eksistensi Allah menurut Aquinas
· Aquinas juga mengajarkan apa yang disebut dengan Theologia Naturalis yang mengajarkan bahwa manusia dapat mengenal Allah dengan pertolongan akalnya sekalipun pengetahuan yang diperoleh itu tidak jelas/ menyelamatkan.
· Dengan akal manusia juga tahu bahwa Allah ada, dan juga tahu beberapa sifat Allah.
· Aquinas berpendapat bahwa pembuktian tentang adanya Allah dapat dilakukan secara a posteriori. Maka tidak dapat menerima tentang adanya Allah secara ontologis.
· Thomas Aquinas memberikan 5 bukti adanya eksistensi Allah. Kata kunci: Penggerak, Sebab utama, Pengada utama, Sebab kebaikan (kebaikan tertinggi), Jalan keterarahan.
1. Adanya gerak di dunia yang mengharuskan kita menerima bahwa ada penggerak pertama. Apa yang tergerak tentu digerakan oleh sesuatu yang lain (omne quod movetur ab alio movetur). Gerak menggerakkan ini tidak dapat berjalan tanpa batas. Maka harus ada penggerak pertama. Penggerak pertama ini adalah Allah.
2. Di dalam dunia ini adanya sebab-sebab yang membawa hasil atau yang mendayaguna. Tidak ada sesuatu yang menjadi sebab yang menghasilkan dirinya sendiri. Maka pada suatu batasan sebagai penyebab yang tidak disebabkan oleh penyebab lain, dialah penyebab pertama yaitu Allah.
3. Di dalam alam semesta yang memungkinkan sesuatu dapat ada dan juga tidak ada. Oleh karena semuanya itu tidak berada sendiri, tetapi diadakan, dan oleh karena semuanya itu juga dapat rusak, maka ada kemungkinan semuanya itu “ada” atau semuanya itu “tidak ada”. Jika semuanya dapat ada dan tidak ada pada suatu waktu sebagai sesuatu yang kontingental maka, pastilah bahwa ada sesuatu yang “adanya mutlak” sebagai pengada utama yang tidak diadakan oleh sesuatu yang lain. Inilah Allah.
4. Di antara segala yang ada terdapat hal-hal yang lebih atau kurang baik, lebih benar atau kurang benar, dsb. Apa yang disebut kurang baik atau lebih itu tentu disesuaikan dengan sesuatu yang menyerupainya, yang dipakai sebagai ukuran. Apa yang lebih baik lebih mendekati apa yang terbaik. Dan jika ada yang kurang baik, yang baik, dan yang lebih baik, semuanya mengharuskan adanya yang terbaik. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa ada sesuatu yang menjadi sebab dari seagala yang baik, benar, mulia, dsb. Dan yang menyebabkan itu semua adalah Allah.
5. Segala sesuatu yang berakal dan tidak berakal memiliki keterarahan kepada satu tujuan. Hal ini tampak dari cara sesuatu yang tidak berakal budi itu untuk mencapai hasil yang terbaik. Ini tentu diarahkan oleh sesuatu yang berakal, berpengetahuan. Inilah Allah.
7. Jelaskan perbedaan esensi dan eksistensi (Aquinas)
Thomas Aquinas, memakai pengertian esensi dan eksistens untuk memahami pemahaman tentang Allah.
Menurut Thomas Aquinas, esensi menjawabi pertanyaan: apa itu. Esensi berbicara mengenai hakikat sesuatu (Allah, manusia, hewan, dll.). sedangkan eksistensi adalah keberadaan dari sesuatu. Eksistensi menjawabi pertanyaan tentang apakah sesuatu itu ada. Aksistensi mengatakan sesuatu itu ada. Pada Allah, esensi sama dengan eksistensinya, dalam arti bahwa hakikat Allah bahwa Dia ada. Allah tidak dapat tidak ada karena hakikatnya adalah ada. Esensi dunia tentu mendahului eksistensinya. Namun esensi Tuhan sendiri tidak mungkin mendahului eksistensinya, maka Tuhan tentu sebagai eksistensi murni. Berbeda dengan ciptaan, dunia esensi ciptan tidak sama dengan eksistensinya. Eksistensinya adalah sebuah potensi. Keberadaannya adalah perwujudan atau aktus dari potensinya sehingga esensinya bersifat kontingen. Maka, hakikat dunia bahwa dia bisa ada dan bisa tidak ada, karena itu dia tidak kekal. Allah memiliki aktus esensi dalam dirinya, untuk berada, sedangkan ciptaan hanya memiliki aktus esensi, yang keberadaanya diturunkan dari Allah.
8. Tiga cara analogi relasi Allah dengan manusia
Manusia tidak bisa mendefinisikan Allah dengan pengetahuan yang ia miliki. Pengenalan manusai akan Allah hanya melalui analogi dalam arti atribut-atribut yang dikenakan kepada Allah sama dengan atribut yang dikenakan kepada manusia dan yang ditemukan dalam ciptaan lain. Atribut seperti bijaksana, penuh cinta, mulia, bisa dikenakan kepada Allah dan juga manusai (via positiva). Persoalannya apakah kita dapat mengetahui sesuatu tentang Allah dari pengetahuan kita tentang ciptaan? Sekali lagi bahwa semua yang menjadi gambaran pengetahuan manusia tentang Allah hanyalah berupa analogi.
a. Aquinas membedakan ada tiga jalan lewatnya Allah dihubungkan dengan manusia:
1. Univokal, kata bijaksana yang digunakan yang digunakan bagi Allah dan manusia dalam arti yang sama persis. Secara implisit berarti bahwa Allah dan manusia adalah sama dalam kodrat. Ini memang perlu dikritisi krna tidak benar menurut Allah yang tidak terbatas menjadi sama dengan manusia yang terbatas.
2. Equivokal, ungkapan yang dipakai untuk Allah dan manusia memberikan arti yang sangat berbeda. Dalam hal ini segala pengetahuan kita tentang manusia tidak menjelasklan apapun tentang Allah. Ini juga dinilai sesat, karena sejauh manusia adalah ciptaan Allah, dalam tingkatan tertentu dia harus mencerminkan kodrat ilahi sekalipun tidak sempurna. Sebagai cerminan ilahi dalam arti tertentu manusia memiliki kesamaan dengan Allah.
3. Analogi, Allah dan manusia tidak seluruhnya sama dan tidak seluruhnya berbeda (alur pemikiran via positiva, via negativa: yg ada pada makhluk tdk ada pada Allah dengan cara yang sama, dan via iminentiae: apa yang ada pada ciptaan tentu berada pada Allah dengan cara yang jauh berbeda melebihi keadaan ciptaan). Kalau kata ‘bijaksana’ dikenakan pada Allah dan manusia, hal ini berarti bahwa Allah dan manusia adalah bijaksana dalam arti yang persis sama tetapi dengan cara yang berbeda. Analogi adalah satu term ontologis, dalam arti bahwa apa yang ada dalam Allah juga ada dalam manusia. Manusia menyerupai Allah sehingga dalam tingkatan tertentu manusia memiliki apa yang menjadi keunikan Allah. Dikatakan analog karena Allah dan manusia disatukan dalam atribut yang sama, yaitu bahwa sama-sama being tetapi yang memebedakan keduanya adalah babhwa Allaha ‘ada’ dalam dirinya sendiri, sedangkan manusia ada karena memperoleh eksistensi dari Allah. Atau Allah dan manusia sama-sama bijaksana tetapi bijaksana Allah secara sempurna sedangakan pada manusia tidak sempurna.
9. Mengapa aliran voluntarisme, nominalisme, dan mistisisme berakibat pemisahan terhadap teologi dan filsafat.
Ketiga aliran ini muncul pada masa akhir abad pertengahan yang mulai mempersoalkan sintese atara filsafat dan teologi, akal budi dan iman yang dikembangkan oleh Aquinas, Agustinus, dan Albert Magnus.
a. Voluntarisme (John Dun Scotus): dalam Allah kehendak adalah yang tertinggi. Menentang Aquinas yang mengatakan bahwa kehendak berada dibawa intelek dengan begitu akal budi membimbing dan menentukan kehendak. Scotus menolak, jika kehendak Allah berada dibawah akal atau dibatasi sesuatu maka kebenaran abadi Allah terbatas. Allah tidak mungkin bertindak secara bebas kalau masih ada akal budi untuk menentukannya. Kehendak adalah yang paling tinggi karena tindakan-tindakan Allah dan hukum moral bukanlah sesuatu yang rasional. Hukum moral tidak terikat dengan standar-standar rasional dan dunia ciptaan bukanlah perwujudan kodrat rasional ilahi. Allah menghendaki dunia ini untuk ada, bukan berpikir untuk adanya dunia.
b. Nominalisme (Ockham): memisahkan iman dari akal budi, dia megajukan pertanyaan kritis tentang status universal. Kata universal hanyalah tanda atau nama yang menjelaskan konsep-konsep yang ditimbulkan hal-hal partikular/ individual. Ockham menolak pandangan Aquinas yang mengatakan, universal berada lebih dahulu dari benda-benda individual, seperti ide-ide dalam akal budi ilahi. Akal budi manusia hanya terbatas pada dunia benda-benda atu realitas dan karena itu akal budi hanya mengetahui benda individual. Tidak ada unuversals yang berada di luar akal budi manusia. Intepretasi sempit Ockham berakibat terpisahnya filsafat dari teologi. Kebenaran teologis tidak dapat dicapai oleh filsafat. Kebenaran yang satu ialah produk akal budi dan yang alain soal iman.
c. Mistisisme, (Eckhart): mengalihkan penekanan abad pertengahan dari akal budi kepada perasaan. Aquianas membentuk sistem rasional yang terpadu dengan teologi, Eckhart mengungkapkan persaan-perasaan yang mendalam tentang kesalehan. Kesatuan dengan Allah merupakan kesatuan yang melampaui rasionalitas (mistis). Bukan seperti Thomas Aquinas yang membangun bukti pengalaman akan Allah di atas penjelasan benda-benda konkret. Eckhart mendorong manusia untuk melampaui kemampuan indrawi yang terbatas. Kesatuan dengan Allah tidak dicapai degan usaha manusia sendiri, tetapi diterangi rahmat Allah dan ilumunasi. Jadi di sini terd apat pemisahan antara akal budi dengan iman. Namun perlu dimaklumi karena dia bukan seorang filsuf atau teolog, dia hanya seorang mistik yang ingin membagikan pengalamannya.
Komentar