Kalvari: Membaca Joko Pinurbo Untuk Angel (Ma Kyal Sin)
(dokumen istimewa/Kuyou)
Untukmu sahabat seperjuangan yang terlalu dini pulang, sebelum kita rayakan wisuda. Kutuliskan sepucuk surat ini, bersama kebebasan kepalamu yang direnggut kuasa peluru busuk. Dan hatimu yang putih sibak sekat serakah dunia.
Kyal Sin, adalah gadis muda belia 19 tahun yang ditembak mati dalam sebuah aksi unjuk rasa untuk memprotes kudeta militer Myanmar dan memperjuangkan pembebasan para pemimpin sipil. Kepergiannya pada 3 Maret lalu ini menyisahkan duka yang mendalam bagi dunia. Dunia pun mengucapkan belasungkawa dan mengecam kekejaman rezim militer Myanmar. Dunia kebebasan berdemokrasi Myanmar luntur diguyur hujan duka bagi Kyal Sin.
Dalam ruang duka dunia bagi Kyal Sin, saya menjumpai Puisi “Kalvari” dari Joko Pinurbo. Bersama Joko Pinurbo dalam rajutan syair kepada Kalvari, saya mencoba memberi makna bagi kematian kyal Sin yang kini lebih dijuluki malaikat atau Angel ini.
Hari sudah petang ketika maut tiba di ranjang.
Orang-orang partai yang mengantarnya ke situ
sudah bubar, bubar bersama para serdadu
yang mengalungkan kawat berduri di lehernya
dan membuang tubuhnya tadi siang.
Angel (Kyal Sin) adalah sosok yang dilukiskan Pinurbo sebagai korban atas situasi sosial dan politik. Tubuh Angel dijadikan tumbal serakah politik Myanmar. Tubuh itu dihempaskan tanpa rasa. Rasa yang mati mencari adil. Angel ‘sang pahlawan damai’ harus menghadapi petang maut yang ganas.
Bagi yang anti demokrasi dan yang takut kehilangan jabatan serta kuasa kawan sedarahnya, tubuh Angel yang terbuang adalah representasi bahwa politik yang dibangun adalah politik kepentingan diri. Sosok Angel adalah pengganggu stabilitas sosial politik mereka. Kematiannya adalah perayaan kemenangan mereka.
Serdadu yang mengalungkan kawat berduri pada leher mereka, menggambarkan suatu sikap arogansi militer. Senjata, kekuatan, dan kegagahan berseragam negara mengaburkan identitas. Rakyat sipil bukan lagi jadi kawan, yang mesti mendapat perlindungan. Kawat duri seakan berbicara, jangan dekati kami atau kau akan terluka. Bahkan terbunuh. Angel dan semua tubuh yang terbuang dalam aksi unjuk rasa Myanmar 3 Maret lalu sudah tertusuk kawat itu.
Hanya ada seorang perempuan sedang sembahyang
berkerudung kain kafan
dan menggelarnya bagi raga yang capai.
“Bapa, belum selesai. Entah kapan saya sampai.”
Hanya ia yang tawakal
menemani ajal,
menyiapkan pembaringan
buat tidur seorang pecundang:
warga tanpa negara, tanpa agama.
Dari sekian banyak korban sebagaimana dilaporkan PBB ada 38 demonstran pada peristiwa 3 Maret lalu, diantaranya Angel telah berhasil mengundang duka dunia. Dia bukan korban yang pergi dalam kesiasiaan. Perginya adalah doa. Tubuh dan jiwanya yang mati kaku, kini hidup dalam jutaan jiwa manusia dunia yang cinta damai.
Angel, jejak juangmu belum selesai. Dunia masih terlalu angkuh untuk kalah demi hidup banyak orang. Kami akan meneruskan semangatmu. Berjuang untuk menang, meski kalah berkali-kali. Cinta untukmu, entah sampai kapan? Doa kami, juga doamu untuk kami.
Kekalahanmu adalah kemenangan bagi para pecundang. Sesungguhnya kau tidak kalah. Kau adalah simbol kemenangan yang abadi. Kau sendiri menyiapkan pembaringan bagi ajalmu dengan bangga. Pada tidurmu yang suci tersirat cinta yang melampaui batas rasis, negara, atau agama. Selamat jalan malaikat kami.
Hanya ia yang mendengar sekaratnya.
“Telah kuminum anggur
dari darah yang mancur.
Telah kucecap luka
pada lambung yang lapa.
Di tubuh Tuhan kuziarahi
peta negeri yang hancur.”
Maut sudah kosong
ketika mereka hendak menculik mayatnya.
Hanya ada seorang perempuan
sedang membersihkan salib di sudut ranjang.
“Ia sudah pergi ke kota,” katanya,
“dan kalian tak akan bisa lagi menangkapnya.”
Angel, warna hari-hari perjuanganmu adalah bukti pemberian diri yang total dan paling otentik bagi bangsamu. Pada mati tubuhmu dan luka kepalamu, kami kecap anggur linang darahmu. Luka dan darah kebangkitan. Bangkit menentang segala bentuk diskriminasi dan kebijakan-kebijakan yang tidak demokratis.
Myanmar 3 Maret 2021, pada lukamu tergambar suatu peta negeri yang hancur. Negeri yang merampas kemerdekaan orang-orangmu. Sekali lagi, pada lukamu yang suci, kau rapalkan doa “semuanya akan baik-baik saja”. Kau mengajak kami untuk memikirkan nasib hidup kami sendiri di atas negeri yang kacau yang kau perjuangkan ini. Itu bukan kau yang egois. Sebab, bagimu memperjuangkan kemerdekaan bagi banyak orang (negara) itu lebih berarti dari pada meratapi tubuh yang telah mati. Semangatmu, semangatilah kami hari ini dan esok yang panjang.
Pada dua bait terakhir puisi ini, dalam duka berbalut haru, kau titipkan hidupmu yang paling berarti. "Saya bisa menyumbangkan (organ saya) jika saya meninggal. Jika seseorang membutuhkan bantuan segera, saya dapat menyumbang bahkan jika itu menyebabkan kematian saya". Dari latar belakang keluarga sederhana, kau memiliki jiwa yang sangat kaya akan kehidupan. Meski kau sendiri harus mati, tapi cintamu hidup abadi pada hati setiap orang yang mengenalmu.
Selain semangatmu yang tertanam dalam hati para pejuang demokrasi kini, kau ijinkan juga darah dagingmu tetap hidup. “Maut sudah kosong, ketika mereka hendak menculik mayatnya”. Tanda-tanda yang kau berikan sebelum katup matamu, menunjukan sikapmu yang lapang pada kematian. Ragamu telah menjadi maut sebelum peluru menembus kepalamu. Jiwamu telah pergi kepada hidup yang kau sendiri kehendaki. Bahkan seluruh dunia kau panggil dalam misi yang sama. Berjuang untuk keadilan dan menolak kekerasan.
Jiwamu telah pergi dan menyulut api perjuangan ke setiap sudut-sudut kota yang merindukan kemerdekaan demokrasi. Dan mereka yang merenggut nyawamu kini harus memikul sesal yang tak berampun.
Kematian Angel (Ma Kyal Sin) adalah “Kalvari” suatu tanda kematian demokrasi dan sekaligus menyulut api kebangkitan dalam hidup berdemokrasi itu sendiri. Myanmar dengan segala dinamika politik melalui kudeta militer untuk mengambil alih kekuasaan secara brutal memberi pembelajaran yang berarti bagi politik Indonesia. Pemerintah harus segera menyikapi berbagai isu kemelut dalam dunia perpolikan tanah air. Meski tidak terjadi kekacauan yang merenggut nyawa, setidaknya perjuangan untuk kedaulatan hidup orang banyak tetap menjadi prioritas.
(Nb. Tulisan ini pernah dimuat di NttProgresif.)
Komentar