Mengapa Bunuh Diri? Manusia Dalam Ruang Dilema Eksistensi, Erich Fromm
Ganbar Ilustrasi: Detikcom |
Manusia dan sejarah adalah suatu pertalian yang sangat erat. Terdapat suatu rentetan relasi yang panjang dan brangkali tak terputuskan antara keduanya. Manusia menciptakan sejarah, demikian pula sejarah kembali mengkonstruksi manusia. Dan terus dibarui dari waktu ke waktu menuju kesempurnaan. Inilah yang digambarkan oleh Gadamer bahwa “eksistensi manusia terkondisi oleh sejarah” (pengalaman). Atau sebagaimana Paul Ricouer, dalam tulisan Felix Baghi dinamakan “semantic innovation” sebagai motivasi dasar mencari sebuah “makna baru” tentang eksistensi manusia dalam konfigurasinya dengan “makna lama” yang diwariskan dari masa lampau (Felix Baghi, “Hermeneutika Diri: Sebuah Jalan Yang Panjang”. Banera.id. 27/03/2021).
Siapa pernah menyangkal bahwa ada suatu idelogi yang lahir murni dari ratio manusia tanpa ada proses sedimentasi terhadap realitas riil kehidupan manusia. Kita andaikan saja, kelahiran demokrasi adalah penolakan terhadap paham totaliter. Kelahiran paham liberal adalah sebagai tanggapan atas kekuasaan kapitaslis, dll. Singkatnya bahwa realitas kehidupan manusia pada masa lalu atau saat ini selalu menjadi referensi untuk bagaimana dia memproyeksi masa depannya. Hal baik dikembangkan menjadi lebih baik, juga hal buruk dan membawa penderitaan bagi manusia diperbaiaki atau diubah pada pencapaian sebuah bonum. Itulah kodrat eksistensi manusia sebagai makhluk dinamis yang selalu bergerak ke arah penyempurnaan.
Namun, bila bertolak dari dasar ontologis bahwa manunsia pada dasarnya adalah baik, mengendaki segala yang baik bagi hidupnya. Bagaimana bisa manusia menjadi penjahat bagi sesamanya dan bahkan menjadi musuh atas dirinya sendiri? Tidak cukupkah pengalaman, atau sejarah menjadi medan belajar bagi manusia untuk mengkonstruksi hidup hari ini dan masa depan ke arah yang lebih baik? Sejarah melukiskan kisah kejam Hilter dalam peristiwa Holocaust, yaitu penyiksaan dan pembantaian terhadap jutaan orang Yahudi. Juga berbagai kisa yang tidak manusiawi lainnya sepanjang sejarah. Termasuk peristiwa 1965 di Indonesia, yaitu pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis. Alih-aih belajar dari sejarah malah kejahatan masih terus mengakar hingga saat ini. Bahkan pada saat penulis sedang menyelesaikan tulisan ini, tiba-tiba notifikasi masuk perihal berita Aksi bom bunuh diri terjadi di pintu gerbang Gereja Katedral di Jalan Kajaolalido, MH Thamrin, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan (Tempo.co, 28/03/2021).
Atas peristiwa-peristiwa keji yang menyebabkan penderitaan dan bahkan kematian manusia. Saat itu juga tentu mengundang rasa empati yang mendalam dan bahkan tak sedikit yang mengutuk para pelaku kejahatan. Tetapi, apakah peristiwa itu lalu menjadi pelajaran bagi semua orang untuk kemudian tidak boleh betindak jahat yang kemudian menyebabkan kerugian atau bahkan kematian bagi sesamanya? Tentu saja tidak. Bagaimana bisa manusia begitu mudah berubah dan tidak pernah jera dari pengalaman kelam masa lalu? Mudah berpaling. Semenit yang lalu dia menghidangkan kopi bagi tetangganya dan kini dia memberi racun. Peristiwa-peristiwa ini kemudian memberi semacam ruang utopis bagi nalar kritis manusia sendiri untuk menyoalkan eksistensinya. Apa yang dicari manusia dalam hidupnya?
Barangkali benar apa yang dikatakan Erich Fromm (1963) dalam Aquarina Kharisma Sari (penerj.) dan A. Yusrianto Elga (ed.). Perang dalam Diri Manusia, tentang adanya tipe atau karakter sosial masyarakat yang “nekrofilus” dan “biofilus”. Nekrofilus perihal tipe masyarakat yang mencintai kematian. Kepuasannya adalah menyaksikan kematian yaitu dengan jalan membunuh. Sedangkan biofilus, yaitu tipe masyarakat yang mencintai kehidupan, yang merupakan dikotomi dari tipe nekrofil. Orang-orang yang sepanjang sejarah terus menyuarakan kemerdekaan: perihal keadilan dan pembebasan dari penindasan adalah mereka yang berjuang untuk mempertahankan hidup. Mereka yang mencintai kehidupan. Atau kata Spinoza, “Manusia yang bijaksana tidak memikirkan tentang kematian melainkan kehidupan”. Sedangkan orang-orang seperti Hilter, dan para pelaku teror sebagaimana dalam peristiwa bom bunuh diri di Gereja Katedral Makasar adalah tipe manusia yang haus akan kematian. Seolah-olah kebahagiaan mereka tercipta melalui kematian orang lain. Bahkan secara ngeri Erich melukiskan bahwa mimpi seorang nekrofilus adalah nekrofagia, hasrat memakan mayat.
Catatan-catatan di atas selain sebagai pengantar adalah juga suatu gambaran bunuh diri manusia yang lebih luas. Manusia membunuh manusia. Atau dalam ungkapan yang sudah dikenal luas dari pemikir Thomas Hobbes, homo homini lopus (manusia adalah serigala bagi manusia yang lain). Pada bagian berikut akan masuk pada pokok soal bunuh diri manusi yang lebih spesifik, yaitu tindakan individu manusia membunuh dirinya sendiri. Dan substansi pertanyaan, mengapa bunuh diri? dalam judul tulisan ini akan dijawab pada bagian ini dengan bertolak dari gagasaan “dilema eksistensi” oleh Erich Fromm.
Jika kita kembali berkaca pada sejarah, soal bunuh diri ini bukan hal yang baru. Meskipun sejarah tidak mencatat siapa manusia pertama yang mati bunuh diri, tetapi kasus ini sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Bahkan dalam Kitab Suci orang Katolik saya menemukan beberapa kisah kematian bunuh diri. seperti, Zimri Raja Israel (1 Raja-Raja 16:18) yang membakar sendiri Istana dengan dirinya di dalam ketika dalam situasi tak berdaya karena kotanya tetah dikepung dan hendak direbut. Yudas (Mateus, 27:3-5) yang memutuskan untuk gantung diri, setelah mengalami depresi berat karena menyaksikan Yesus yang dijualnya dengan tiga puluh keping perak itu disiksa tak berdaya oleh para prajurit. Dan masih banyak kisah lainnya dalam Kitab Suci. Selain itu, dalam dunia para filsuf juga ada seorang tokoh besar pada abad ke-4 yang mati bunuh diri dengan menelan racun, yaitu Socrates.
Kembali pada saat ini. Sejak awal tahun 2021 berita kematian bunuh diri terus menjadi tren topik yang hangat diperdebatkan. Baik melaui media massa atau digubuk-gubuk sederhana para remaja dan orang tua berkumpul sambil menikmati aroma “Kopi Colol”. Bunuh diri. Mengapa orang mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis seperti itu? Mengapa bunuh diri? Pertanyaan-pertanyaan ini jugalah yang dilontarkan kepada penulis oleh beberapa orang yang penulis jumpai selama ini. Mereka menginginkan alasan jelas yang melatarbelakangi tindakan bunuh diri ini. Para orangtua menjadi takut dan khawatir, kalau-kalau peristiwa yang sama harus terjadi terhadap anak-anak mereka atau orang-orang terdekat mereka.
Ada beberapa kasus bunuh diri yang menjadi perbincangan seru di kalangan masyarakat Flores-Nusa Tenggara Timur pada umumnya. Pada, 07 Maret 2021 di Kota Kupang, Karlos Kebo (rohaniwan) ditemukan gantung diri dengan tali di dahan Pohon Kedondong (MERDEKA.COM, 07 Maret 2021). Selain itu, Fransiska Malo (Lenti) seorang gadis 18 tahun di Ende (Desa Embuteru) yang tewas gantung diri di Pohon Cengekeh (RakyatNTT.com 28/01/2021). Juga pada 02 Maret 2021 lalu, Presidensius Urbanus (Mahasiswa Politeknik Pertanian di Kota Kupang) ditemukan tak bernyawa gantung diri menggunakan selang di sebuah dahan pohon di samping rumah. Peristiwa-peristiwa nahas ini tentu tidak saja mengundang duka bagi keluarga atau kerabat dekat mereka. Namun juga luka yang dalam bagi semua orang yang mendengar atau mengetahui kisah mereka. “Mengapa harus bunuh diri?” Ratapan sesal ini spontan keluar dari kita yang sangat menyayangkan jalan pintas akhir hidup mereka.
Sebelum masuk pada teori dari Erich Fromm, untuk memahami perilaku bunuh diri, terlebih dahulu kita perlu tahu siapa tokoh ini dan bagaimana latar belakang pemikirannya. Erich Fromm adalah profesor psikologi di New York University dan profesor psikoanalisis di National University of Mexico. Dia adalah salah satu pemikir di mazab Frankfurt yang giat mengeritik teori dan filsafat sosia Marx dan Freud. Fromm dianggap sebagai salah satu psikoanalisis paling populer dan berpengaruh di Amerika, dan karyanya telah terjual berjuta-juta eksemplar dalam berbagai bahasa (Erich Fromm. 1963, dalam Aquarina Kharisma Sari (penerj.) dan A. Yusrianto Elga (ed.). Perang dalam Diri Manusia, 2020).
Beberapa pengalaman mempengaruhi pikiran Fromm, antara lain pada umur 12 tahun ia menyaksikan seorang wanita cantik dan berbakat, sahabat keluarganya, bunuh diri. Fromm sangat terguncang karena kejadian itu. Tidak ada seorang yang memahami mengapa wanita tersebut memilih bunuh diri. Ia hidup dalam satu rumah tangga yang penuh ketegangan. Ayahnya seringkali murung, cemas, dan muram. Ibunya mudah menderita depresi hebat. Masa kecilnya merupakan suatu laboratorium yang hidup bagi observasi terhadap tingkah laku neurotis. Peristiwa ketiga adalah pada umur 14 tahun Fromm melihat irasionalitas melanda tanah airnya, Jerman, tepatnya ketika pecah perang dunia pertama (Aulia Nastiti. “Pemikiran Erich From Dalam Teori Kritis”. Kompasiana, 30 April 2012).
Menurut Fromm, hakekat manusia bersifat dualistik. Ada empat dualistik manusia yang merupakan kondisi dasar eksistensi manusia. Penulis mencoba untuk menguraikan alasan mengapa orang bunuh diri dalam pokok pemikiran Fromm ini.
Pertama. Manusia sebagai binatang dan sebagai manusia. Manusia sebagai binatang memiliki banyak kebutuhan fisiologik yang harus dipuaskan, seperti kebutuhan makan, minum, dan kebutuhan seksual. Kecenderungan manusia yang terlalu terobsesi dengan daya tarik fisiologi ini bisa membawa manusia pada suatu jalan buntuh. Hasrat animal yang terlalu dominan bisa saja menekan daya kritis rasional dan kesadaran seseorang hingga mendorongnya pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan naluriah secara irasional. Hakekat manusia sebagai binatang ini seringkali menyiksa manusia jika bertolak belakang dengan apa yang khas bagi manusia. Perasaan lembut, cinta, kasihan, perhatian, tanggung jawab, nilai, ini semua lahir dari manusia yang memiliki kebutuhan kesadaran diri, berfikir, dan berimajinasi. Pertentangan ini seringkali menimbulkan rasa bersalah pada manusia, rasa sesal, dan depresi. Dengan kata lain kesadaran manusia sebagai manusia terhadap realitas kebinatangan itu membuat manusia tidak bebas. Meminjam ungkapan Sartre, “manusia terpenjara di dalam kesadarannya sendiri”. Sehingga bagi Sartre jalan keluarnya supaya manusia bisa bebas dari kesadaran itu ialah dengan memilih menjadi tidak sadar atau bunuh diri.
Kedua. Hidup dan mati. Dinamika kehidupan bergerak tanpa henti seolah-olah manusia bakal hidup abadi, setiap orang tanpa sadar mengingkari kematian yang baka dan berusaha bertahan di dunia yang fana. Dalam penghayatan terhadap hidup manusia selalu ingin bebas mewujudkan diri. Namun di satu sisi manusia dalam hidupnya dilingkupi oleh nilai-nilai sebagai sistem yang mengatur perilaku. Nilai-nilai itu bersifat wajib karena dibuat untuk pencapaian tujuan hidup manusia. Kegagalan manusia dalam menginternalisasi nilai-nilai ini bisa saja membawa manusia pada beban tanggung jawab sosial yang besar terhadap hidup. Apa lagi nilai-nilai yang ditemukan manusia dalam hidunya itu seringkali sangat plural dan menuntut suatu penerimaan yang toleran. Kegagalan sosialisasi diri ditengah keberagaman nilai ini juga banyak membuat manusia jatuh dalam idealisme-idealisme dangkal. Melihat yang berbeda sebagai ancaman bagi eksistensi saya. Sehingga tidak jarang lahir sikap-sikap radikal yang menanamkan doktrin bahwa ketika saya mati bersama orang-orang yang berbeda pegangan nilai dengan saya adalah berkat bagi saya di kehidupan baka. Maka, ada banyak aksi bom bunuh diri yang masif terjadi. Demikian pula mereka yang merasa tidak sanggup memikul beban tanggung jawab sosial dalam hidup dan merasa telah mencemarkan nilai-nilai kehidupan pun bisa saja memutuskan untuk mengakhiri hidup mereka dengan jalan bunuh diri. Karena memegang pada idealisme irasional sempit bahwa hidup orang lain akan menjadi lebih baik jika tanpa saya.
Ketiga. Ketidaksempurnaan dan kesempurnaan. Berbekalkan kehendak dan ratio, manusia selalu ingin merealisasikan diri secara sempurna. Karena kehendak kuat yang mendorong kepada pencapaian ini, manusia terjerat di dalam idealismenya sendiri. Ia mengimpikan dan memaksa dirinya untuk selalu berprestasi, sukses, dan ingin selalu menjadi nomor satu. Bagi mereka, merayakan hidup yang paling otentik adalah dengan keberhasilan atau mencapai kesempurnaan. Namun, siapa sangka bahwa ideal ini bisa sangat mempengerahuhi kondisi psikologi seseorang bila yang ia dapat dalam hidupnya justru kegagalan. Mereka akan cenderung mengutuk diri dan hidup mereka, dan bahkan bisa sampai pada jalan pintas mengakhiri hidup karena tekanan depresi dan stres yang berlebihan.
Keempat. Kesendirian dan kebersamaan. Manusia adalah pribadi yang mandiri, sendiri, tetapi juga tidak bisa menerima kesendirian. Manusia menyadari diri sebagai individu yang terpisah, dan pada saat yang sama juga menyadari kalau kebahagiaannya tergantung kepada kebersamaan dengan orang lain. Analisis psikologi lebih banyak menunjukan keterjatuhan manusia dalam tindakan bunuh diri diakibatkan oleh dilema jenis ini. Ketika manusia tidak mampu mengatasi kesendiriannya dan gagal mensosialisasikan diri dalam kebersamaan ia akan mengalami keterlemparan dari dunia sosial dengan amat menyedihkan. Ketika manusia menghadapi persoalan yang menekan hidupnya, ia menghendaki agar ada orang lain mengerti tentang dirinya. Memahami persoalannya. Karena pada dasarnya manusia mau dipahami dan memahami orang lain, tetapi manusia tidak sanggup memahami dirinya sendiri. Iniah yang seringkali membawa manusia kepada rasa kesendirian, kesepian di antara kebersamaan. Kesadaran akan kesendirian ini menjadikan manusia sebagai makhluk yang amat menyedihkan. Sehingga jalan pembebasan yang ditempuh bila tak segera mendapat pertolongan adalah memilih unutk mengakhri hidupnya sendiri.
Konsep Erich Fromm tentang dualisme kondisi eksistensi manusia ini cukup menarik dan bisa dipakai unutuk menganalisis berbagai persoalan lain yang membelit ruang hidup manusia. Namun, perlu diingat bahwa analisis tentang bunuh diri tidak pernah bisa direduksi dalam satu konsep tunggal. Karena itu upaya penulis untuk menjawab soal bunuh diri dalam ulasan ini tentunya bukanlah suatu jawaban yang final. Tetapi hal yang tidak bisa disangkal adalah bahwa dalam reaitas manusia yang hidup selalu saja ada dikotomi eksistensial yang tidak bisa ditinggalkan. Manusia secara individu baik dalam pemikiran maupun dalam tindakan, selalu berjuang untuk mengatasi dikotomi ini. Dengan demikian, kata kunci yang bisa dihubungkan antara dilema eksistensi manusia dan tindakan bunuh diri adalah faktor “ketidakberdayaan”. Yaitu disposisi seseorang baik secara psikologis atau psikososial di mana ia tidak mampu menempatkan diri secara seimbang, mengontrol pikiran dan tindakannya dalam realita dilema eksistensinya.
Akhirnya, perihal bunuh diri; Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak 2003 telah menganggap secara serius isu bunuh diri ini (Rokom. SehatNegeriku, 16/09/2014). WHO kemudian bekerja sama dengan International Association of Suicide Prevention (IASP) untuk memperingati Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia setiap tanggal 10 September. Dan pada tahun 2020 lalu secara bersama kita diajak untuk berpartisipasi dalam tema Nasional “Bersama Cegah Bunuh Diri”. Untuk menanggapi ajakan ini, perlu kerja sama yang masif dan konsisten dari semua elemen masyarakat secara struktural. Di samping dorongan kepada pemerintah untuk menyediakan fasilitas seperti Rumah Sakit Jiwa atau Biro Konsultasi Psikis dan juga tenaga psikiater yang profesional. Di sisi lain perlu ada eduksi kepada masyarakat luas perihal pengenalan akan gejala-gejala orang dengan sakit psikis (psikosis); perihal cara atau tindakan yang perlu sebagai upaya ‘komunikatif’ terhadap orang dengan psikosis; dan sebagai langkah terakhir ialah tentang upaya masyarakat untuk mendapatkan bantuan. Dengan demikian bukan tidak mungkin bahwa bangsa kita mampu mengakhiri bencana bunuh diri ini.
Sebagai penegasan umum, sudah saatnya kita mesti belajar dari sejarah yang telah berjuang untuk usaha peradaban manusia. Sejarah secara terbuka berusaha membongkar realitas-realitas yang tersembunyi bagi edukasi agar manusia belajar darinya. Menanggalkan pemikiran dan perilaku hidup yang destruktif dan berjuang bersama untuk mewujudkan hidup yang lebih baik. Perkambangan berbagai riset dan ilmu pengetahuan untuk mengatasi soal-soal yang dialami manusia pun perlu diadopsi secara tepat guna. Di samping itu setiap peribadi berjuang untuk menjadi gatekeeper atas dirinya sebagai tuan rumah di tengah dunia informasi yang tanpa batas. Sekap-sikap hidup yang kaos dan merugikan orang lain juga diri sendiri seperti peperangan, pembunuhan, teror, bunuh diri, dll., jika masih terpelihara, ini menunjukan kegagalan kita dalam menerima peradaban secara positif.
Komentar