Aku dan Hari Yang Tertunggang Covid 19


“Keadaan kini benar-benar di luar perkiraan. Wabah penyakit covid 19 telah memaksa perubahan yang adaptif dalam berbagai sektor kehidupan manusia.” 

Aku menguping suara lirih ayahku dari seberang dekat jendela teras rumah kami. Ia sedang membolak-balik halaman koran kesukaannya. Dan kini ia serius memperhatikan sebuah tulisan opini perihal wabah besar yang menimpa dunia, covid 19. Koran itu, selalu ayah peroleh dari saudaranya, bapa besarku, dari kota yang sering mampir ke rumah setiap pagi sebelum mengunjungi usaha ternaknya di kampung kami. Dan ayah selalu mewajibkan bapa besarku untuk selalu membawa baginya koran setiap pagi.

Aku terkagum pada ayah. Ia seorag pembaca yang baik dan setia. Apa pun pengetahuan yang diperolehnya melalui syering pengetahuan oleh para penulis di koran-koran itu, akan menjadi pegangan hidupnya dan juga buah pijak didikannya kepada kami. 

Di atas meja tempat nongkrong paginya yang banal, terhirup aroma semangat kopi arabika kecintaannya. Dan aku pun turut menikmati aroma itu setiap pagi saat mengikat tali sepatu sebelum berangkat ke sekolah. Meski aku sendiri tak suka menyeruput kopi. Untuk sarapanku, ibu selalu menghidangkan segelas teh, nasi, dan lauk seadanya.

“ibu, ayah...aku pamit...” Sembariku menghampiri ibu dan ayahku untuk mencium tangan mereka, dengan harapan agar melimpah berkat bagi perjuanganku.

Jarak tempuh sekolah dari rumahku tidak jauh. Bel dan suara gaduh teman-teman di sekolah bahkan terdengar jelas dari rumahku.

“Dahh..ayah..ibu...”

Di sekolah aku bukan murid yang terlalu luar biasa. Predikat akademisku biasa-biasa saja. Tetapi aku suka menulis sastra dengan genre puisi romantika dan cerpen sederhana seadanya. 

“Nata,..” 

Tiba-tiba langkahku melambat dan aku terhenti ketika suara Meri dari belakang memanggilku hendak menghampiriku. Meri adalah teman sekolah dan juga teman sekelasku yang paling akrab. Kami berdua sering bersama di sekolah, juga di rumah saat-saat luang, hanya sekedar berbagi cerita dan canda sebagai remaja. Kami memiliki hobi yang sama untuk membaca dan kadang suka berdiskusi ngambang sejauh yang bisa kami pikirkan.

“Nata, kapan yah kita akan memulai pembelajaran tatap muka penuh? Aku rindu pada teman-teman kelas yang lain.” 

Maklumi saja, bahwa dengan pandemi covid saat ini waktu pembelajaran kami sangat singkat di sekolah. Kelas kami dibagi dalam dua kelompok XII A dan XII B. Pembelajaran berlangsung dengan sistem sift. Minggu ini kami tatap muka, kelas lainnya mengerjakan tugas atau belajar di rumah, demikian pun berlaku pada minggu-minggu berikutnya secara bergilir. Entah sampai kapan. 

“Yah, aku juga rindu sih Meri, dengan suasana sekolah yang dulu. Tapi, mau bagaimana? Kita harus melewati ini semua.” 

Aku dan Meri, terdiam sejenak. Entah apa yang ada dalam pikiran kami masing-mamsing, tetapi yang pasti kami sedang berada dalam ruang hari-hari kemarin yang menyenangkan di sekolah. Mungkin bisa dikatakan sedang bernostalgia.

 “Hey...” Aku menepuk pundak Meri untuk menyadarkannya dari imajinasi historinya yang kini sudah terlahap waktu dan disekat oleh wabah. 

“Ayo kita masuk kelas...” Tak terasa langkah kami sudah berada di depan pintu kelas. Aku dan Meri pun merapat ke keran air tempat mencuci tangan sebelum hendak masuk ruagan untuk mengikuti pelajaran.

Kelas kami ditata dengan standar ketat terhadap protokol kesehatan. Jarak duduk antara siswa diatur satu meter ke samping dan ke depan-belakang. Semua siswa-siswi dann guru menggunakan masker. Kami pun dikawal ketat oleh para guru untuk tidak menciptakan kerumunan yang tidak perlu di saat jam istirahat dan waktu-waktu senggang. Bisa dikatan kami mengikuti pelajaran dengan agak kaku.

Hari ini, kami mendapat kelas Agama dan Sejarah. Oleh bapak dan ibu guru kami dibekali dengan pengetahuan akan iman kepa Tuhan Sang  Pencipta secara benar dan tepat dalam tindakan dan tutur kata. Kami diajarkan untuk menghindari perihal perilaku hidup destruktif, yang merusak tatanan moral pribadi dan moral sosial, yang oleh agama dilabelisasi dengan dosa.

Sebagai generasi muda yang tumbuh dengan berjuta hasrat dan impian, kami pun dibekali sejarah. Agar langkah maju kami ke depan, dan impian hidup bernegara yang sejahtera dan damai dapat dibangun atas landas sejarah peradaban yang kokoh. Sejarah kelam hidup berbangsa yang memecah belah perlu dipelajari sebab musabahnya agar kami tidak lagi jatuh pada lubang yang sama. Singkatnya, kami perlu menoleh ke belakang untuk menciptakan masa depan yang berdaya kreatif dan inovatif.

Waktu kini sudah menunjukkan pukul 11.30 dan saatnya kami harus meninggalkan kelas. Aku merapikan kembali buku-buku pelajaran dan alat tulisku ke dalam tas.

“Terima kasih pak...” Salam kami, kepada pak Rio yang menemani kami belajar sejarah pada akhir jam ke tiga dan empat.

Pak Rio adalah guru yang penyayang dan sabar mendidik kami di kelas. Baginya anak-anak milenial sekarang tidak boleh mengabaikan sejarah baik sejarah dunia pada umumnya, juga sejarah bangsa ini. Mengabaikan sejarah berarti  melupakan identitas sebagai bangsa atau warga negara yang baik. Demikian pun, kata dia orang akan kehilangan arah dan pegangan hidup.

Aku dan Meri, kembali lagi sejalan sambil bercerita ria sekedar menghibur langkah yang tatih di bawah terik.

“Nata, kapan  sih covid 19 ini berakhir?” Tiba-tiba pertanyaan Meri menyela basa-basi kami yang tak karuan. Kami diam sesaat masing-masing. Mungkin sedang mencerna pertanyaan barusan dilontarkan.

“Aku juga, tidak tau Mer...” aku mempersingkat panggilan Meri dengan Mer... mungkin karena sudah malas berpikir atau juga karena terik yang menjejal hingga dahi kami kelihatan kerut.

Kami pun berteduh sesaat di bawah naungan pohon mengga depan rumah bapak RT. Selain untuk sekedar mendapatkan napas segar, juga adalah pilihan saya agar bisa lebih berkonsentrasi bertukar pikieran dengan Meri terkait pertanyaannya.

“Mer...sekarang kita sudah mendapat sedikit harapan dengan kehadiran vaksin, tetapi sama saja itu tidak menjamin bahwa kita akan terbebaskan dari virus ini.” Meri menarik nafas panjang entah ia berusaha menyimak atau sebagai ekspresi putus asa saja dengan pernyataanku barusan. 

“Tapi apa pun kabar vaksin itu nantinya ampuh atau tidak, kita hanya bisa mengharapkan yang terbaik saja. Toh kita akan diseleksi secara alami. Seperti kata Yuval Harari, yang pernah saya baca tulisannya itu. Bahwa yang kuat dan mampu beradaptasi akan bertahan dan yang lemah dan gagal beradaptasi akan kalah oleh virus ini.”

Meri menyambung setelah aku diam sesaat, sambil memainkan ekor matanya memberi tanda ketika penual es krim berhenti di depan kerumunan anak-anak tak jauh dari hadapan kami...

“Nata, semoga saja semua baik-baik saja yah...aku merasa ketika di awal-awal kehadiran covid 19 ini, dunia begitu menyeramkan. Kehiidupan sosial kita dalam pertemuan dengan orang-orang di sekitar menjadi sangat antipatif. Kita menjadi takut kalau kita atau orang yang kita jumpai malah menularkan virus”

Meri, berhenti berbicara ketika saya memberi isyarat dengan tangan untuk menghampiri penjual es krim. 

“Mas, beli dua..” Mass Jono, yang sudah dikenal baik oleh anak-anak desa ini melayani kami dengan sabar dan penuh kasih, meski anak-anak selalu tak sabar. Akhirnya aku dan Meri pun disodorkan es krim lezat buatan mas Jono. “Terima kasih mas...”

Percakapan kami pun semakin kusuk, rumit, dan terbatas, untuk kapasitas pemahaman kami dengan jenjang pendidikan sekolah menengah. Sambil menikmati kesegaran es krim kami mengayunkan langkah kembali ke rumah kami masing-masing.

“Meri, terima kasih yah untuk hari ini...”  Aku menyalami Meri ketika kami hendak berbagi jalan ke rumah kami masing-masing.

Sembari melangkahkan kaki ke halalaman rumah, aku mengingat kembali penggalan dengungan ayah pagi tadi yang sempat tertangkap pendengaranku.

“Bagaimana kesiapan siswa dalam mendapatkan modus pembelaaran yang baru, sekolah dan kuliah online? Apakah kemampuan berteknologi siswa sudah cukup mumpuni, menerima perubahan sebagai alternatif ini?”

Mengendap pertanyaan-pertanyaan itu, aku menjadi semakin pesimis dalam belajar. Daerah kami cukup sulit untuk mengakses jaringan internet. Rata-rata masyarakat di sini tidak cukup mampu untuk membeli atau mengadakan anroid atau media lainnya yang bisa dipakai untuk sekolah online bagi anak-anak mereka. Bahkan di sekolah kami saja belum cukup tersedia fasilitas-fasilitas bagi para guru atau siswa untuk dapat menempuh alternatif dalam situasi pandemi ini dengan melakukan sekolah atau pembelajaran online.

Bagi anak-anak di wilayah perkotaan mungkin akan mudah  memahami dengan persoalan-persoalan yang ditanyakan di atas. Namun, bagi kami di wilayah pedesaan dan di kampung-kampun, persoalan semacam itu bisa jadi sebuah  penghinaan atas ketidakmampuan ekonomi dan kehidupan sosial kami yang masih sangat terpuruk dalam kemiskinan.

“Selamat siang ayah, ibu...aku pulang...” Aku menghampiri ayah dan ibu di halam belakang rumah untuk menyalami mereka. Berterima kasih atas berkat doa mereka hari ini. 


.....Sekian.....

Komentar

Postingan Populer